Senin, November 02, 2009

TESTIMONI JADI PELAKON TANDAVA

Sebelum saya mengenal dunia sepiritual kehidupan saya sering dirundung ketakutan, takut akan hal-hal yang sifatnya gaib, takut akan masa depan yang tidak karuan, takut tersaingi atau sebaliknya, takut kehilangan terhadap orang-orang yang dicintai serta banyak takut lainnya. Upaya memang telah dilakukan saat itu dengan menekuni agama yang saya anut dan berusaha menjalankan perintah-perintahnya, namun belum pernah tercapai suatu hasil yang memuaskan karena agama masih mengajarkan keyakinan yang hasilnya nanti. Apapun yang ditanam itulah hasilnya nanti pada hal saya butuh sekarang bukan nanti karena nanti adalah masa yang akan datang yang penuh dengan ketidakpastian.

Perkembangan rohani saya dirasakan sangatl monotun dan muncul rasa tidak puas. Terlalu banyak perintah yang tertuang dalam buku-buku agama yang memerlukan pembedahan akan makna apa yang terkandung di dalamnya, apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ritual yang sekarang ini lebih banyak sifatnya euporia belaka dengan mementingkan ego dari pada pencerahan diri. Dampaknya di masyarakat lebih banyak mudaratnya dari pada tujuan yag semestinya. Kita jarang mulat sarire (introspeksi diri) bila serangkaian ritual keagamaan telah dilaksanakan. Apa yang mestinya harus dirubah sebagaimana makna sebuah ritual setelah dilakukan.

Kita lebih banyak munafik dari pada jujur apa adanya. Kebanyakan kita kehilangan rasa welas asih, persaudaraan atau menyame braye, kita terlalu sibuk berebut kesempatan tanpa rasa peduli akan hari esok bagi sesama. Kita dipenuhi rasa ketakutan menghadapi hari esok. Tumbuh suburnya rasa saling curiga dan kehilangan jati diri. Kita terlalu cepat marah bila ada ketersinggungan dan lain sebagainya. Kemewahan duniawi telah membalikkan sistem sosial yang telah dibangun para leluhur kita. Dengan kenyataan seperti itu, kemudian saya merenung, apa yang semestinya dapat diperbuat? Apa makna kehidupan ini sejatinya? Terasa membosankan kita jalani hidup seperti ini, yang setiap saat dirundung keluhan-keluhan akan derita hidup yang tak habis-habisnya.

Apakah hidup ini hanya untuk mengeluh baik kepada orang lain maupun kehadapan Tuhan sendiri? Pikiranku yang bergejolak yang diselingi perasaan yang kalut dan menggelisahkan. Pertanyaan-pertanyaan muncul silih berganti dan jawaban yang muncul selalu meragukan. Seperti contoh ” Dalam setiap doa selalu diiringi permohonan dan dalam setiap persembahyangan selalu nunas penganugrahan , namun disisi yang lainnya agama menyatakan kerjakan kewajibanmu tanpa pernah mengharapkan hasilnya ” Jadi termasuk mengerjakan sembahyangpun kita semestinya tidak berharap apa-apa apalagi merengek-rengek mohon ini dan itu dan bila tidak kesampaian kemudian menyalahkan Tuhan. Hal-hal seperti inilah yang saya cari jawabannya, kenapa dalam banyak hal bahasa agama mengadung misteri dan sulit dipahami apa makna sebenarnya yang diperintahkan Tuhan lewat Buku-buku Agama.

Pada akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa setelah mendalami agama sesuai kemampuan perlu kemudian dilanjutkan dengan berguru kepada orang yang tepat untuk membimbingnya lebih lanjut sehingga sampai pada suatu tingkatan pencerahan diri yang ditindaklanjuti dengan laku yang kebanyakan orang menyebutnya dunia sepiritual.
Sampai suatu ketika saya berjumpa dengan seorang bijaksana, namun berbeda keyakinan (Agama). Lewat beliaulah saya belajar sepiritual. Pada awalnya beliau mengatakan:

” Jangan karena beda keyakinan kita tidak bersaudara. Semua umat manusia adalah bersaudara. Tuhan menurunkan agama ibarat mendirikan sekolahan. Ada sekolahan A, sekolah B atau sekolah C. Jangan karena berbeda sekolahan kamu tawuran atau menjelek-jelekkan sekolah teman yang lain. Yang penting kamu mampu nggak menyelesaikan sekolahmu atau Tamat dan Lulus. Nah kalau sudah lulus jarang ada orang yang menanyakan kamu tamatan mana. Yang penting kamu telah tamat dan mulai mencari pekerjaan dan bekerja. Demikian pula dalam hidup ini, berupayalah memahami, menghayati ajaran agama yang dipeluk semaksimal mungkin dengan berguru dan mencari Guru yang benar, kemudian apa yang kamu dapat itulah kamu lakukan dalam meniti hidup selanjutnya.

Namun sayang kebanyakan orang-orang saat ini jangankan disebut tamat, naik kelaspun tidak dan sudah berani mengaku diri paling suci, alim dan sebagainya serta memandang rendah orang maupun keyakinan yang lainnya. Kalau sudah demikian maka kedamaian akan semakin jauh. Kedamaian justru menjadi tujuan agama itu sendiri yaitu damai di hati, damai di bumi dan bila mati masuk Sorga. Bagaimana mungkin masuk sorga bila masih hidup saja dipenuhi rasa iri, dengki, rakus, suka marah, sombong dan lain-lainnya yang memicu gejolak dalam dirinya dan hanya menyalahkan orang lain tanpa mengintrospeksi dirinya. Kalau sudah demikian maka kedamaian akan jauh darinya maupun lingkungan sekitarnya ”

Sedikit wejangan beliau itulah pada jumpa pertama mendapatkan kesan ada kecocokan karena pandangan-pandangannya yang universal, maka selanjutnya saya mohon kepada beliau berkenan menerima saya sebagai muridnya. Beliau bernama Welldo Wnopringgo, kelahiran Jakarta, asli Surabaya dan beliau seorang pelukis dan tinggal di Kuta, Bali.
Perguruan beliau bernama ” Tandava Nrtya ” yang artinya Tarian Kosmik Alam . Inti ajaran beliau adalah Pengosongan diri, dengan cara pengosongan maka kita dapat diisi kembali dan beda bila kita merasa sudah terisi penuh, maka bila diisi kembali akan tumpah. Dengan pengosongan diri maka kita dapat berpasrah diri dalam meniti kekosongan, sehingga pada akhirnya tercapailah keheningan. Dalam keheningan kita menemukan Kenyataan. Apa kenyataan itu? Hanya yang sudah mengalami mampu merasakan dan menyaksikannya. Ini bukan sebuah Aliran Kepercayaan atau Agama baru dan kalaupun dipaksakan sebagai aliran maka aliran ini lebih cocok disebut Aliran Kepastian. Jadi tidak hanya percaya, namun pasti bila dilakoni sesuai dengan petunjuk Guru.


Sebelum menjadi muridnya, terlebih dahulu saya harus puasa selama 3 hari, kemudian diberikan wejangan khusus selama 4 kali yaitu dalam 4 malam guna memahami tentang Manusia, Sorga dan Neraka, Setan/Iblis/Bhuta Kala dan Tuhan itu sendiri. Wejangn beliau ini telah memberikan pemahaman dan pencerahan menyangkut hal-hal tersebut yang masih terbungkus dalam bahasa agama yang saya pelajari selama ini. Setelah mengikuti wejangan, selang beberapa harinya saya mengikuti upacara pembangkitan Ruh melalui pengaktifan Cakra Ruh/Atma. Suatu saat yang menegangkan buat saya ketika tangan dan tubuh saya bergerak dengan sendirinya, namun saya tetap sadar tidak kesurupan seperti orang-orang pada umumnya yang sedang mengalami kesurupan. Itulah gerakan kosmik atau Ruh yang telah bangkit yang selama ini tertidur karena dikuasai oleh pikiran dan ego.

Kata beliau bila cakra raga yang dibangkitkan maka kita ibaratkan seperti air dan bila kita punya air 1 gelas dan dipakai mengobati seseorang maka air itu akan habis dan bisa jadi penyakit sang pasien masuk pada diri kita karena kehabisan air. Demikian pula bila cakra jiwa yang diaktifkan maka kita ibarat api, contohnya seperti api lilin. Bila diberikan kepada orang lain tidak akan habis-habisnya, namun nyala lilin tetap sebesar itu. Beda halnya dengan pembangkitan cakra Ruh/Atman, maka kita ibarat sinar. Semakin sering diberikan atau diminta orang lain maka akan semakin terang dan menerangi kegelapan. Dengan pengaktifan cakra Ruh/Atma maka cakra badan raga maupun pada badan jiwa akan aktif dengan sendirinya. Ruh/Atman adalah serpihan atau sinar Beliau atau Tuhan itu sendiri yang berwujud, sedangkan Tuhan yang universal tidak ada wujudnya. ” Brahman Atman Aikyam ” Tuhan dan Atman itu satu adanya.

Setelah upacara pembangkitan ruh/atma maka saya dijuluki Pelakon, karena yang dipentingkan dalam perguruan ini adalah Laku atau Lakon yaitu mengerjakan apa yang menjadi kententuan dalam perguruan ini. Ini tidak berarti saya meninggalkan kewajiban agama yang saya peluk. Justru sebaliknya dengan menjadi pelakon saya lebih memahami dan menghayati apa-apa yang diperintahkan agama dan sering kali mendapat jawaban dengan sendirinya tentang hal-hal tabu atau masih terbungkus dengan kata-kata agama maupun makna sebuah ritual yang dilaksanakan. Maka tidaklah aneh para pelakon berasal dari berbagai pemeluk agama maupun keyakinan. Demikian pula asal muasalnya banyak dari manca negara.

Setelah saya aktif mengikuti jadwal laku, maka setahap demi setahap saya mulai mengalami perubahan. Rasa gelisah mulai sirna, kepala jarang sakit dan rasa strespun menjauh. Rasa takut mulai berkurang meskipun di tempat-tempat yang dianggap keramat, justru di tempat-tempat itulah muncul keheningan yang luar biasa. Saya menjadi lebih percaya diri dan sering muncul jawaban secara otomatis dalam diri ketika suatu saat ada hal-hal yang saya belum tahu seperti ada apa dengan badan raga, badan jiwa, maupun dengan pikiran dan ego. Pelan dan pasti mulai bisa membedakannya dengan diri murni yang lugu dan polos.

Disamping itu bercermin dari pengalaman yang saya alami selama ini dengan belajar dan melakoni disiplin spiritual ada perkembangan positif yang dirasakan, mulai dari kegelisahan dalam menghadap kondisi hidup saat ini yang serba sulit sampai suatu ketika tercapai suatu kondisi yang lebih baik yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Berbagai persoalan hidup yang rasional berubah menjadi irasional. Yang saya maksud adalah dari yang tidak mungkin menjadi kenyataan. Yang sebelumnya tidak tahu secara perlahan menjadi tahu dan menghayati khususnya terhadap hal-hal yang tabu diungkap dengan bahasa agama.

Banyak pengalaman sepiritual yang saya alami dan kejadian-kejadian menarik lainnya di luar akal dan pikiran namun nyata,untuk mengetahuinya maka baca artikel-artikel yang ada di sini,dan tunggu artikel-artikel selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar