Jumat, Oktober 30, 2009

AKU TERSESAT DAN MENYESATKAN

Keseharian aku dalam beberapa warsa yang lalu selalu merasa rendah diri dan kadang-kadang tinggi hati bila berhadapan dengan teman-teman yang berlainan agama atau kepercayaan lainnya. Apalagi lawan bicaranya menyombongkan agamanya dan merendahkan agama yang saya peluk. Waduh sebel banget, ingin rasanya berontak bila perlu baku hantam terhadap lawan bicara. Demikian pula halnya dalam nonton TV, begitu ada canel yang menyiarkan agama orang lain serta merta aku memindahkan canel-nya. Alergi rasanya bila melihat maupun mendengarkan apa yang disampaikannya.

Gejolak pikiran yang mengakibatkan kebencian teramat sangat bila ada orang yang mengagung-agungkan agamanya dan secara implisit merendahkan agama yang aku anut. Perasaan ini aku pendam begitu lama, benci bercampur dendam terhadap orang lain yang beda agama atau kepercayaan. Aku yakin bahwa agamakulah agama dari Tuhan dan sempurna serta pasti akan mengantarkan aku ke jalan yang benar dan masuk Syurga. Keyakinan inilah yang kadang-kadang membuat aku menjadi tinggi hati. Penampilan aku menjadi eksklusif, terbatas pada orang-orang yang seiman dan seagama dan yang lainnya adalah manusia-manusia munafik, najis dan sesat, yang sedapat mungkin dijauhi agar tidak mempengaruhi imanku. Begitulah keseharian aku di kala itu.

Suatu ketika aku berjumpa dengan seseorang yang berpenampilan apa adanya, sederhana lain dari pada yang lain, tutur katanya yang lemah lembut membuat hatiku sejuk. Kepada beliaulah aku menumpahkan unek-unek selama ini. Sebagai penghargaan atas kebaikan beliau dan beliau sendiri tidak keberatan, aku langsung memanggilnya Guru dan berlangsunglah percakapan antara Guru dengan aku seperti berikut ini.

Aku : Guru, kenapa saya selalu memandang bahwa kebenaran dalam agamakulah yang paling sempurna dibandingkan agama atau kepercayaan lainnya. Bagaimana Guru, pemahaman saya yang demikian. Pada hal saya tahu semua agama diturunkan oleh Tuhan yang satu adanya;

Guru : Kamu belum memahami agamamu dengan benar. Masih gelap gulita bagi kamu. Lebih baik kamu diam dan renungkan dalam hati, kalau memang kamu belum mengenalnya secara mendalam. Pandangan kamu selama ini bisa menjadi duri dalam tubuhmu yang sakitnya kamu rasakan sepanjang hidupmu;

Aku : Lho kenapa begitu Guru? Aku terdiam sejenak setelah bertanya demikian. Pada hal aku selama ini telah berupaya keras untuk memahami dan melaksanakan ibadah agama yang saya anut;

Guru : Kamu semestinya tidak punya praduga yang demikian. Bila kamu sampai berbuat anarkhis kepada saudaramu yang beda agama maupun keyakinan, apakah kamu ingin disebut pahlawan pembela agama dan kebenaran? Kamu hanya sebagai budak hina dari nafsu dan egomu sendiri, para pemuja Nafsu dan Ego yang taat. Kamu selama ini dikendalikan oleh ego yang pengecut tanpa mau membuka hati.

Aku : Aku termenung selesai Guru berucap seperti itu, ada rasa gejolak dalam dadaku, bahwa apa yang saya harapkan dari jawaban Guru akan mendukung sikap saya, ternyata bertolak belakang. Kemudian Guru kembali mengingatkan.

Guru : Aku yakin masih banyak diantara kamu yang memiliki jiwa pemberani dan satria yang berani melindungi dan mengayomi sesama saudara meskipun beda keyakinan atau agama, dengan tetap waspada terhadap diri sendiri melalui pengendalian diri. Mewaspadai diri dan mengendalikan dirimu sendiri adalah keutamaan hakiki dari pada mewaspadai dan mengendalikan orang lain. Bahkan kamu telah menyakiti hatimu sendiri bila selalu berpraduga negatif terhadap orang lain yang beda keyakinan. Kamu telah menghianatinya, kamu korbankan bagi kepentingan pikiranmu yang sempit, picik dan bebal. Pemimpi yang tidak sadar akan dirinya, kamu tergiur oleh Syurga harapanmu yang kamu bangun didalam mimpi burukmu. Kamu tidak akan mendapatkan apa – apa, apalagi Syurga, Cinta Kasih Tuhan kecuali rasa benci yang bertengger selamanya dalam dirimu;

Aku : Aku terdiam seribu bahasa, beliau serius menasehatiku, barangkali telah lama beliau memendam perasaan ini, karena selama ini banyak kasus-kasus yang berlatar agama maupun keyakinan yang memicu terciptanya suatu kondisi yang jauh dari tujuan hakiki dari berbagai agama/keyakinan yang ada. Mungkin baru dalam kesempatan inilah beliau mencurahkannya. Kemudian Guru melanjutkan nasehatnya.

Guru : Bila kamu masih mempunyai praduga yang memandang rendah agama lain, sebaiknya kamu diam dan menghormati saudara kita yang beda agama/keyakinan. Dan bila kamu melakukan penghinaan sama saja kamu telah dan nyata – nyata menodai dan merendahkan keyakinanmu. Karena ego dan kepicikan, kecongkakan dan kesombonganmu mata dan hatimu menjadi buta dan bebal. Sesungguhnya kamu tidak mematuhi Tuhan yang sebenarnya, kecuali egomu. Kamu tiada lain hanyalah seorang pemuja dan pengikut yang buta dari nafsu dan pikiranmu sendiri. Tak ada tempat yang layak dalam dirimu cinta dan kasih sayang sehingga tak ada hati dalam dirimu, kau gempur saudaramu sendiri dan kau hinakan saudara sebangsamu.

Aku : Aku lagi-lagi terdiam, merenungkan ucapan Guru yang demikian dan langsung melakukan introspeksi diri, apa benar aku selama ini tak punya rasa kasih sayang, kemudian aku kembali bertanya. Kalau demikian Guru apa yang mesti saya lakukan?

Guru : Jika semua orang menjadi pengecut, jika semua orang berdiam diri tidak bergeming sedikitpun untuk melindungi yang lemah melerai yang kuat dan mengendalikan kecongkakannya apakah ini permasalahan sederhana? Jika kamu semuanya menjadi buta, jika kamu semua tak punya hati, jika kamu semua tak punya nyali untuk mencapai Kemerdekaan adalah permasalahan bersama yang harus kamu tuntaskan bersama.

Aku : Jadi demikian ya Guru, saya semestinya terlebih dahulu mempelajari, memahami dan menghayati dalam-dalam agama yang dipeluk agar rasa kasih sayang tumbuh dan peduli akan orang lain serta membuang jauh-jauh praduga negatif terhadap agama/keyakinan orang lain, begitu kan Guru. Terus yang mesti menyatakan suatu agama atau keyakinan berada di jalan Tuhan, siapa Guru?

Guru : Masalah Tuhan dan keyakinan seharusnya Tuhan sendiri yang harus menjadi Hakim Agung karena hanya Dia yang tahu Siapa Dirinya. Maka serahkanlah semua keputusan kepadaNya. Perbuatanmu yang merugikan orang lain mesti diadili seadil – adilnya. Siapapun juga diantara kamu yang buta dan tak peduli kepada kefasikan yang ada di depan matamu maka sesungguhnya yang terjadi kejahatan itu telah memasuki dirimu yang telah berubah menjadi ketakutanmu. Ketahuilah olehmu bahwa semua kejahatan berawal dan berasal dari ketakutan.

Aku : Jadi ketakutan itulah penyebab utamanya ya Guru? Memang kami merasa takut eksistensi kami terganggu, apalagi selama ini sudah mapan dan kami ingin mengajegkannya, makanya kalau ada paham lain yang muncul, kami takut akan terjadi gejolak.

Guru : Ketakutan ini pulalah yang sedang menjangkiti pikiranmu dan merasuki semua pikiranmu sebagai iblis yang menguasai dirimu. Apakah kamu masih punya mata dan hati ? Apakah kamu masih dapat berpikir positif dan logis yang membangun? Apakah kamu masih mampu bertindak adil dan beradab? Apakah kamu sudah kehilangan hatimu? Atau apakah kamu sudah tak kenal cinta? Atau Hatimu memang sudah diganti dengan hati Serigala yang buas? Sedang sebuas – buasnya Serigala masih kenal dengan anak – anaknya, masih sayang dengan saudaranya dan masih menghormati bangsanya.

Aku : Begini Guru, apa yang saya sampaikan, begitulah keyakinan saya yang saya pelajari dalam Kitab Suci Agama yang saya peluk. Bila ada orang maupun sekelompok orang menyebarkan kebenaran yang melecehkan keyakinan kami, berarti melawan atau melecehkan perintah Tuhan dan itu akan dapat mempengaruhi umat lainnya yang selama ini sudah harmonis dan rukun. Tentu akan memunculkan banyak perbedaan yang mengarah kepada kondisi yang tidak kondusif lagi. Kan begitu Guru?

Guru : Apa yang sesungguhnya kamu ketahui tentang Kebenaran dan atas nama kebenaran macam apa, kamu mempunyai praduga negatif terhadap yang lainnya? Terlalu berani mengaku dirimu paling benar, tetapi ceroboh menjelekan dan berpraduga negatif terhadap keyakinan orang lain. Karena kamu merasa diri paling benar, paling beragama, merasa diri paling suci, sehingga kamu menyangka bahwa Tuhan hanya milikmu saja, Tuhan hanya berpihak kepadamu saja sehingga apapun yang kamu lakukan Tuhan akan memberkatimu Syurga.

Aku : Kebenaran yang kami pahami adalah semua perintah dan larangan Tuhan yang tertuang dalam kitab suci agama kami. Tuhan bagi kami adalah segalanya tempat kami memohon dan berlindung, demikian kan Guru?

Guru : Apa yang kamu ketahui tentang Tuhan, mengenalpun tidak, apalagi menjumpaiNya? Kamu tidak tahu apapun tentangNya, kamu hanya tahu nama – namaNya saja, itupun kamu dapatkan dari buku bacaan, selain itu kamu peroleh dari katanya orang. Tetapi lagakmu sudah seperti orang suci yang menyangka dirimu paling benar, berlagu seperti Tuhan yang kuasa dan menjelekkan keyakinan saudara lainnya yang beda keyakinan. Kamu akhirnya menjadi congkak dan gegabah, karena mengira dirimu paling benar dan jauh dari perasaan cinta dan kasih sayang serta rasa hormat kepada kaum lainnya.

Aku : Memang demikianlah adanya Guru. Pemahaman saya akan kebenaran sebagaimana diamanatkan Tuhan yang disebutkan dalam kitab suci agama kami dan belum tahu banyak tentang kebenaran yang dimaksudkan dalam agama maupun keyakinan yang lainnya;

Guru : Pemahaman kamu akan kebenaran berdasarkan pada kebenaran subyektif pikiranmu sendiri yang masih picik dan sempit? Belum sungguh – sungguh berlandaskan kepada Kebenaran Obyektif Kitab Sucimu? Sejauh mana kamu mengetahui Kitab Sucimu sehingga kamu mempunyai praduga negatif terhadap prinsif dan pedoman hidup orang lain? Sedalam apakah kamu mengenal dirimu sehingga kamu belum bisa menghormati dan menghargai orang lain yang beda keyakinan?
Aku : Aku tersentak dan terdiam sejenak setelah Guru berkata demikian. Pikiranku menerawang apa itu kebenaran subyektif dan apa itu kebenaran obyektif. Akhirnya aku jawab. Guru, menyangkut kebenaran yang saya yakini sampai saat ini adalah hasil pemahaman saya baik dengan cara membaca maupun mendengar ceramah dari pemuka-pemuka agama kami. Apapun yang disampaikan oleh panutan kami itulah yang saya yakini.

Guru : Sedekat apakah kamu mengetahui Tuhanmu, sehingga kamu seenaknya menyangsikan dan meremehkan Tuhan orang lain. Dengarkan kataku, apa bedanya kamu dengan Pemimpinmu apabila kamu berhak dan bisa menjadi Pemimpin yang dicintai dan dihormati. Tidak ada bedanya selama kamu bisa berbuat adil dan beradab serta dapat mengayomi semua orang tanpa pilih kasih, lebih – lebih terhadap yang papa dan lemah, jika dapat seperti itu kamu semua adalah Pemimpin terhormat. Apa bedanya kamu dengan Guru dan orang-orang suci yang menjadi Panutan yang dijunjung, dicintai dan dikenal banyak orang, apabila kamu dapat melakukan kebaikan dan kebenaran semulia mereka.

Aku : Aku mulai terheran-heran dan berusaha mencamkan dan memahami apa yang disampaikan barusan. Bahwa aku juga bisa menjadi pemimpin dan panutan. Aku terdiam dan Guru melanjutkan wejangannya.

Guru : Camkanlah olehmu kata – kata ku ini. Kamu semua adalah Pemimpin selama kamu dapat meletakkan kepentinganmu di belakang kepentingan orang lain. Kamu semua adalah pemimpin selama kamu mampu mengendalikan egomu demi kemerdekaan dan kebahagiaan orang – orang yang kamu cintai. Sebaliknya sekalipun kamu sedang duduk secara resmi di kursi kepemimpinan formal atau umat apabila didalam prakteknya kamu lebih mendahulukan kepentinganmu di atas kepentingan orang lain maka kamu bukanlah pemimpin lagi, bahkan lebih rendah lagi hakikatmu. Kamu tidak lain hanyalah budak hina dari nafsu dan egomu sendiri.

Aku : Ooh begitu Guru, Jadi sayapun bisa menjadi pemimpin umat ya Guru sepanjang saya mampu menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi, begitu Guru;
Guru : Ya, dan tahukah kamu ciri – ciri orang yang terjajah. Tidak bisa dipimpin, apalagi memimpin. Apabila terjadi, kamu salah mengangkatnya menjadi Pemimpinmu maka penjajahan dan perbudakan menjadi fenomena yang nyata bagimu sebagai akibat dari kelalaianmu sendiri dan itu pelajaran yang baik untuk mengingatkanmu. Hanya kemerdekaan yang dapat memberi kemerdekaan. Dalam kemerdekaan semuanya adalah pemimpin. Kamu semuanya adalah pemimpin, apapun sebutanmu dan kewajibanmu yang berbeda – beda hanya konsepsi dan esensinya tergantung kwalitasnya.

Aku : Maksud Guru ? Aku terdiam dan bingung memahami ucapan Guru. Kemudian Guru melanjutkan ucapannya

Guru : Pemimpin itu bisa disebut dengan nama atau julukan yang bermacam – macam. Nabi adalah pemimpin, Sang Juru Selamat juga pemimpin, Rosul adalah pemimpin, Rabbi, Pendeta, Rsi, Mpu juga pemimpin. Presiden, Raja, Perdana Menteri, Panglima, Bupati, Residen, Lurah, Camat, Pak RW, Pak RT atau Kepala Lingkungan juga pemimpin. Malaikat, Dewa dan Awatara semuanya adalah pemimpin. Bahkan Tuhan itu sendiri pemimpin. Sebutan dan julukan pemimpin bisa beda sedangkan esensinya sama dan sangat tergantung pada kwalitas keluasan dan kepeduliannya terhadap apa yang sudah menjadi tanggung jawab dan kewajibannya.

Aku : Jadi begitu Guru, bahwa seorang pemimpin tegantung dari luasan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap yang dipimpin, kemudian Guru melanjutkan ucapannya.

Guru : Jika kamu merasa bertanggung jawab dan peduli terhadap kemerdekaan bangsa maka kamu disebut pemimpin bangsa. Jika kamu peduli terhadap seluruh manusia tanpa dibatasi Agama, Budaya, Bangsa, warna kulit dan adat istiadat, maka kamu adalah pemimpin umat. Jika kamu hanya peduli pada golongan maka kamu hanyalah pemimpin kelompokmu saja. Dan apa sebutannya bagi kamu yang melulu peduli kepada perut dan bawah perutmu saja?
Aku : Aku terdiam, kemudian saya mulai dapat menangkap apa yang diucapkan Guru. Jadi demikian ya Guru, bahwa pemimpin itu harus tulus dan ikhlas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya serta menempatkan kepentingan yang dipimpin ketimbang kepentingan dirinya. Pantaslah ya Guru bahwa mereka yang mampu memimpin sangat dicintai para pengikutnya maupun orang-orang yang sekalipun tidak kenal langsung dengan diri sang pemimpin, karena dampak kepemimpinannya membawa perubahan yang lebih baik maka pemimpin itu dicintai dan dielu-elukan dan dikenang oleh banyak orang.

Guru : Memang demikianlah adanya, lalu apakah salah dan berdosa jika diantara kamu dipuja dan dipuji seluhur para Rasul, para Rsi, para Guru Suci karena tingkah laku dan perbuatanmu dicintai dan dihormati pengikutmu? Barulah disebut kekeliruan jika kamu ingin diakui sebagai pemimpin umat hanya untuk kepentingan dan keuntungan dirimu sendiri semata. Barulah disebut kerugian apabila kamu disakiti dan ditipunya secara fisik maupun mental. Oleh karenanya kamu baru berhak menuntut ganti rugi itupun hanya terbatas pada korban langsung saja.

Aku : Jadi benar pemahaman saya ya Guru, bila ajaran sang pemimpin kemudian diikuti oleh pengikutnya dan berdampak positif bagi seluruh umat, mestinya kita dukung meskipun kita tidak menjadi pengikutnya, toh juga mereka tidak membuat keoranan atau merugikan orang lain, benar demikian Guru.

Guru : Ya begitulah, lalu apakah sesat dan menyesatkan jika kamu ingin menolong dan memimpin orang – orang yang mencintai dan mempercayaimu? Lalu mengapa kamu menjadi berang ketika ada orang lain yang seperti itu? Jelas semua ini karena kedengkianmu dan prasangka burukmu semata? Lalu apakah salah dan tidak boleh apabila kamu memiliki dan mengalami kebenaran pengalaman spiritual? Lalu kamu pikir apakah perlu orang yang mengalami keajaiban itu membuktikannya pada orang yang menuntut? Lalu bagaimana mungkin kalau yang menuntut itu belum pernah mengalami ?

Aku : Jadi tat kala ada orang yang minta tolong karena mereka mencintai dan mempercayai kita, maka kita wajib membantunya dengan tulus ikhlas seperti yang diamanatkan dalam kitab suci termasuk bila kita mampu mengalami kejadian yang sifatnya spiritual. Karena pernah mengalami dan kita sudah mampu mencapainya kemudian ada orang minta tolong dan percaya terhadap pengalaman kita, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memberitahunya, demikian ya Guru.

Guru : Ya begitulah, kita jangan apriori dulu bila ada yang telah mampu mengalami kejadian yang sifatnya spiritual, apalagi irihati dan dengki. Kalau kita menuntut untuk membuktikannya, sama halnya dengan penelitian intelektual, seperti dokter – dokter yang menuntut pasiennya untuk membuktikan kebenaran penyakit yang diderita si pasien kepada diri mereka.

Aku : Jadi kalau kita bertanya kepada yang pernah mengalami kejadian spiritual, kita baru hanya dapat jawaban yang menghasilkan keyakinan, bahwa apa yang dialami oleh seseorang memang benar atau illusi belaka. Jadi kebenarannya baru sebatas keyakinan, begitu Guru?

Guru : Ya, sama ibaratnya seorang dokter menanyakan rasa sakit kepada si pasien. Sudah seharusnya dan menjadi kewajibannya bagi dokter untuk mencari buktinya sendiri namun sejauh apa yang bisa dilakukan oleh dokter takkan dapat membuktikannya. Stetoskop dan ilmunya hanya dapat digunakan sebatas sebagai pembenaran. Begitu pula pengalaman spiritual hanya bisa diceritakan dan bisa diterima oleh kamu yang sudah mengalami hal yang sama.

Aku : Ooh, begitu Guru, jadi kita harus berusaha ikut mengalami dengan cara minta bimbingan kepada yang sudah mengalami dan kalau kita juga mengalami hal yang sama atau serupa, barulah keyakinan itu menjadi kenyataan atau kebenaran yang tak perlu dibuktikan lagi karena sudah mengalami sendiri, benar kan begitu Guru?

Guru : Kebenaran hakiki hanyalah bagi kamu yang telah dan sedang mengalaminya dan bagi orang – orang yang setarapmu. Kebenaran keyakinanmu tidak akan pernah mencapai universal selama kamu berusaha keras mencari dan membuat perbedaannya karena ingin melebihkannya dari yang lain. Karena itu kebenaran subyektifmu tidak dapat dijadikan patokan untuk merendahkan faham – faham lain. Apalagi mengenai Tuhan, yang masih ghaib dan misteri buatmu, jangankan melihat wajahNya mendengar suaraNya saja belum mampu lalu dengan ukuran apakah kamu seenaknya menentukan kebathilan dan kebatalan Tuhan dari agama maupun kepercayaan orang lain? Jelas kamu sendiri tidak mau menerima dan dapat membela diri dan melawannya jika keyakinanmu dilecehkan orang lain.

Aku : Ya Guru aku baru memahami, kalau kami belum pernah alami sendiri lebih baik kita positif thinking saja, yang penting kepemimpinan mereka bersama pengikutnya memberi manfaat yang lebih baik bagi lingkungan dari kondisi sebelumnya, misalnya menjadi welas asih antar sesama, suka menolong, peduli terhadap berbagai masalah yang ada dan tindakan lainnya yang memberikan kedamaian bagi lingkungannya.

Guru : Dengar kataku. Cara hidup boleh berlainan. Iman dan keyakinan boleh berbeda. Tapi yang penting secara sosial perbuatan dan perkataanmu tidak boleh saling merugikan dan saling menyakiti sesamamu dan sesama hidupmu. Jangan kamu mengakui dirimu sebagai orang yang beradab beragama jika perbuatanmu menyakiti dan mengacam ketentraman orang lain.

Aku : Jadi saran Guru, saya harus menjadi pemimpin yang mampu membawa teman-teman kami untuk menebarkan kasih sayang, welas asih dan bantu membantu dalam keseharian, sehingga apapun yang kami lakukan akan diterima oleh lingkungan disekitarnya, benar begitu Guru?

Guru : Begitulah jika kamu mampu menjadi pemimpin. Namun sayang saat ini pemimpin sejati semakin langka. Susah mencari pemimpin yang berani melindungi dan mengayomi kaum yang lemah dari kepicikan dan kecongkakan kaum yang kuat. Sangat jarang ada pemimpin yang bernyali singa dan berhati lembut, yang tidak takut kehilangan suara dan tidak tergantung pada yang terbanyak kecuali demi Kemerdekaan Sejati
Aku : Apa itu Kemerdekaan sejati Guru? Aku lanjut bertanya.

Guru : Kemerdekaan dan Kebenaran Sejati bukanlah hasil kesepakatan suara mayoritas dan lagi pula mayoritas bukanlah jaminan. Tahukah kamu bahwa yang berkualitas itu jumlahnya minoritas sangat sedikit sekali. Zaman kini jarang ada pemimpin yang memiliki kejujuran dan keterbukaan kecuali kepura – puraan dan kemunafikan. Maka hati – hatilah kepada yang berpura – pura waras padahal sesungguhnya tidak waras. Aku jarang menjumpai Pemimpin Sejati dan Pejuang Kemerdekaan di negeri ini. Aku tidak lagi melihat apapun atas diri Pemimpin yang ada kecuali Pengemis dan Perampok. Aku tidak menyaksikan apapun kecuali Ketakutan dan Kemiskinan.

Aku : Aku menjadi terperangah mendengar ucapan Guru yang demikian, benarkah diantara kami sekarang ini tidak bisa menjadi pemimpin sejati. Kemudian aku bertanya kembali. Lalu apanya yang salah Guru? Lalu Guru melanjutkan ucapannya.

Guru : Apa artinya sebuah kehadiran agama jika tidak mampu memberikan warna positif kepada para pengikutnya sehingga selalu terjadi penguasaan, penekanan terhadap kelompok yang lemah, kerusakan dan kerusuhan yang memakan korban jiwa manusia? Apakah ini suatu pertanda bahwa agama yang ada tidak lagi mampu dan memadai untuk dijadikan pedoman guna menghadapi perkembangan hidup. Atau suatu pertanda dibutuhkannya pemahaman agama yang sama sekali baru?

Aku : Memang benar demikian Guru, seperti pemahaman saya di awal pembicaraan tadi. Diantara kami yang beda agama sering terjadi gesekan-gesekan yang menjurus kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Bahkan di luar daerah banyak sekali kerusuhan yang terjadi berlatar belakang agama atau keyakinan. Setelah mendengar wejangan Guru saya baru sadar bahwa kita adalah sebangsa dan setanah air dan leluhur kita mungkin masih sedarah. Guru, kenapa hal ini bisa terjadi pada hal diantara kita telah berlomba-lomba dalam menjalankan ibadah agama, mestinya suasana semakin damai, tetapi malah sebaliknya dan kebanyakan kita mengalami degradasi moral.
Guru : Seharusnya kamu bisa belajar sehingga tak perlu mengulang kembali atau tersandung lebih dari satu kali pada batu yang sama.

Aku : Ya Guru, aku akan mulai introspeksi diri agar tidak lagi mengulangi tindakan maupun punya praduga negatif terhadap teman-teman yang beda agama atau keyakinan lain. Terima kasih, Guru telah membuka hati saya ke jalan yang terang.
Guru mengangguk dan beliau diantar oleh pengikutnya entah pergi ke mana. Yang jelas aku jadi termangu seolah-olah tak percaya dapat bertemu orang sebijak dan seluas itu pandangan hidupnya. Semoga aku dapat berjumpa kembali dengannya di lain waktu.

Setelah pertemuan dimaksud, saya mulai membuka diri dengan mendahulukan perasaan cinta dan kasih sayang bila berhadapan dengan orang lain, apakah seagama maupun tidak. Saya mulai mencoba memahami berbagai ceramah maupun dakwah agama maupun keyakinan orang lain yang ditayangkan di TV maupun lewat media lain dengan maksud mengurangi praduga negatif terhadap sesama. Prinsif yang saya pegang adalah apapun agamanya maupun keyakinannya, toh juga mereka saudara kita yang sama-sama ciptaan Tuhan dan sama-sama juga berwujud manusia seperti kita sendiri, yang bisa marah kalau tersinggung atau diganggu, apalagi saat ini banyak permasalahan hidup yang semakin hari semakin komplek.

Aku mencoba mengubungi teman-teman, dimana Guru yang saya jumpai itu berdomisili, yang pada akhirnya aku temukan dan beliaupun menerima aku sebagai salah satu muridnya. Singkat cerita setelah aku melakoni arahan Guru, maka aku merasakan perubahan dalam diriku baik pola pikir, perkataan maupun tindakan. Aku lebih ceria dari sebelumnya, bisikan hatipun sering ku dengar ibarat percakapan dua orang bila memikirkan sesuatu. Jawabannyapun muncul tanpa disadari bila ada permasalahan atau hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan yang umumnya masih terbungkus dengan kata-kata agama yang tabu diungkap selama ini. Pandangan-pandangan tentang kehidupan seolah-olah memancar dari dalam diri yang menerangi langkah aku untuk menggapai kemerdekaan diri.

Ayo Baca Artikel selanjutnya klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar