Senin, November 09, 2009

MIMPI YANG TAK KUNJUNG BERAKHIR

Mimpi, suatu keadaan tak sadar yang dialami oleh setiap orang di kala tidur, kadang-kadang mimpi indah, buruk maupun biasa-biasa saja. Namun yang jelas begitu terjaga, baru sadar bahwa berbagai kejadian yang dialami selama tidur hanyalah sebuah mimpi. Kalau mimpi indah ingin rasanya melanjutkan tidurnya seraya berharap mimpi tersebut berlanjut kembali, namun sebaliknya bersyukur terjaga karena mimpinya buruk dan mengerikan. Mimpi indah maupun buruk, begitu kita terjaga, pikiran kita secara spontan kembali mengingat-ingat bagaimana detail kejadian dalam mimpi itu. Sambil terbengong diselingi tersenyum atau mengerutkan dahi, kita berusaha kembali merasakan lakon yang terjadi dalam mimpi yang pada akhirnya sambil berguman, eh hanya sebuah mimpi, ya sudahlah, sekali lagi hanya sebuah mimpi.

Banyak pendapat tentang mimpi, ada yang mengatakan bahwa mimpi hanyalah bunga-bunga tidur. Mimpi adalah gambaran kejadian atau firasat akan hal-hal tertentu yang akan terjadi dalam kehidupan nyata berikutnya. Dan lain sebagainya tentang tafsir mimpi. Mimpi membuat kita terbengong, terhanyut oleh pikiran kita dengan membawanya ke suatu hayalan yang tak jelas ujung pangkalnya. Menghayal sudah menjadi bagian hidup kita baik dilakukan secara sadar maupun tidak, suka maupun tidak kita hanyut dalam hayalan yang kadang-kadang muncul dalam mimpi. Kondisi yang demikian membuat kita sibuk pada hal-hal yang sudah maupun akan terjadi atau yang telah dan akan kita alami yang membuat kita resah, tak sabaran dan tidak fokus terhadap apa yang kita hadapi saat ini. Kita terombang-ambing oleh kondisi demikian, ibarat sebuah perahu di tengah samudra yang tak mampu dikendalikan yang pada akhirnya tenggelam entah kemana terbawa arus laut yang mengganas.
Mari kita simak wejangan suci dari Guru Welldo Wnopringgo, berikut ini :

Tutuplah kedua matamu dan kedua telingamu
karena kedua-duanya
hanya mampu memberikan pengetahuan dualitas
pengetahuan serba dua yang saling bertentangan
yang hanya membuatmu selalu kebingungan

Mari kita coba menutup kedua mata dan telinga dengan tangan, kemudian kita rasakan! Yang kita rasakan hanyalah keheningan, seolah-olah kita sedang menatap diri sendiri. Begitu kita buka mata dan telinga, apapun yang kita lihat dan dengar secara spontan pikiran kita memberinya sebuah nilai bahwa ini bagus, ini jelek, ini enak dan ini tidak enak, ini boleh dan ini tidak boleh dan lain sebagainya yang menggambarkan dualitas yang saling bertentangan dan konsep ini telah tertanam dalam pikiran kita sejak kita sadar akan nilai yang ditanamkan sejak kecil.
Mari kita ikuti lanjutan wejangan di atas :
Maka tutuplah kedua matamu dan kedua telingamu
karena kedua-duanya
hanya dapat membawamu untuk selalu melihat keluar
selalu melihat yang lain sebagai obyek dan tujuan
kedua matamu dan kedua telingamu hanya membuatmu sibuk
mencari kekurangan dan kesalahan orang lain
sehingga tak punya kesempatan
mencari kekurangan dan kesalahanmu sendiri

Maka tutuplah kedua matamu dan kedua telingamu
karena kedua-duanya selalu mengajakmu keluar
sehingga menemukan dirimu selalu di dalam keterpisahan
terpisah dari dirimu sendiri dan orang-orang lain
terpisah dari KENYATAAN dan TUHAN.

Begitu mata dan telinga kita buka, pikiran akan spontan mengajak kita tertuju pada obyek di luar diri dan langsung memberikan penilaian. Kalau kita melihat orang, secara otomatis kita menilainya. Ooo, orang ini begini, atau begitu. Ia baik atau sebaliknya ia tidak baik dan berbagai penilaian lainnya. Kalau melihat makanan langsung berpikir, ini enak, ini aku suka, ini tidak suka atau kurang enak dan sebagainya. Demikian juga kalau telinga mendengar, pikiran kita langsung menilainya, ini suara si anu dan terbayang akan karakternya, atau itu suara anjing dan langsung terbayang bahwa anjing itu galak atau sebaliknya. Kita sibuk memberi penilaian terhadap apa yang kita lihat maupun dengar dan jarang sekali melihat diri sendiri apa yang menjadi kebutuhan diri, disamping makan dan minum dan seabrek kebutuhan untuk terpenuhinya keperluan bagi sang raga.
Kita terlalu sibuk memberikan penilaian bagi obyek di luar saja dan yang lebih parah lagi kita sendiri terseret jauh mencampuri obyek di luar, sampai-sampai kita tak dapat lagi berdiri guna menentukan identitas diri. Kita menjadi terpisah, tidak fokus pada diri dalam segala hal, ibarat perahu di tengah samudra seperti disebutkan di atas. Oleh karena demikian bagaimana caranya untuk selalu eling akan diri.
Mari kita lanjutkan wejangan di atas :
Maka tutuplah kedua matamu dan kedua telingamu
dan bukalah lebar-lebar Hatimu yang suci
yang dapat mendengar meskipun tak punya telinga
yang dapat melihat meskipun tak punya mata
yang dapat mencium meskipun tak punya hidung
yang dapat berbicara meskipun tak punya lidah

Ternyata hati kita mesti tak punya mata dan telinga, mampu untuk melihat dan mendengar dan bisa berfungsi sebagai hidung maupun lidah. Dengan hati kita dapat merasakan apapun kejadian di dalam diri maupun di luar diri sekaligus ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain maupun obyek di luar.

Maka bukalah lebar-lebar Hatimu yang selalu menerima
karena Hatimu akan selalu membawamu melihat ke dalam
ke dalam BATHIN dan Dirimu yang sebenarnya
dengan Hati akan membuatmu sibuk melihat ke dalam diri
mencari kekurangan dan kesalahanmu sendiri
sehingga lupa mencarinya pada pihak yang lain.

Lihatlah ke DALAM dirimu,
ke dalam BATHINmu yang TERDALAM,
tidaklah ada perbedaan
antara dirimu, DIRI-MURNI dan GURU,

Dengan hati, kita selalu dapat merasakan dan menerima apa adanya, ibarat perut akan selalu menerima apa yang kita makan dan dampaknya akan kita rasakan. Baik dan buruk apa yang kita makan akan kita rasakan dan sifatnya ke dalam sampai ke bathin, sehingga tahu akan kebutuhan diri mana yang baik dan mana yang buruk dan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh akan kebutuhan diri.
Bila hal ini terus kita lakukan maka mencari ke luar guna memberikan penilaian akan obyek di luar diri akan berkurang. Kemudian munculah kedamaian dalam hati dan keheningan. Identitas diri akan diketahui siapa diriku dan mau kemana aku, apa bedanya orang lain dengan aku. Apa orang lain berbeda dengan aku yang sama-sama punya hati dan mampu juga mencapai keheningan. Siapa keheningan itu? Dan ada apa dalam keheningan itu?. Apa beda keheningan itu dengan keheningan yang dimiliki oleh orang lain? Munculah pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang hanya mampu terjawab oleh kita sendiri. Munculah dialog seperti Guru dengan seorang Murid, yang lama kelamaan menemukan jawaban yang membuat hati kita jadi damai, pada hal doalog tersebut hanya berlangsung dalam diri. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Selanjutnya mari kita lanjutkan wejangan berikut ini :

kamu sungguh-sungguh MERDEKA,
di dalam KEMERDEKAAN tidak ada guru
di dalam KEMERDEKAAN tidak ada murid
oleh karenanya di dalam KEMERDEKAAN tidak ada ajaran.

Biarlah hanya CINTA dan KEDAMAIAN
yang ada diantara semua makhluk hidup dan kehidupan
menjadi perekat suci setiap hubungan dan dialog
di alam semesta raya yang maha indah ini.

Hati yang hening akan memunculkan kedamaian. Dari kedamaian maka segala yang nampak akan menjadi indah dan dari keindahan itu akan muncul rasa cinta, cinta yang universal dan tidak terikat akan hal-hal di luar, itulah diri yang Merdeka. Kemerdekaan yang dipenuhi dengan pancaran cinta yang akan nampak baik dari dalam diri maupun dari luar diri. Bila kita pancarkan cinta, maka yang menerimapun akan membalasnya dengan cinta. Begitulah pancaran cinta itu akan menyejukan lingkungan dan alam sekitarnya, yang menjadi perekat yang saling mengasihi.
Baiklah kita ikuti kembali wejangan berikut ini :

Kamulah KEHIDUPAN
yang lebih dulu ADA sebelum munculnya gagasan tentang kehidupan
watak dan kharaktermu yang paling mendasar adalah HENING
dan itu tidak akan dapat kamu capai
karena sudah senantiasa ADA
karena kamu adalah SUBSTANSI
karena kamu adalah sesuatu yang menyadari
setiap kesadaran tentang obyek, sasaran dan gagasan,
bahkan kamu lebih HENING dari kesadaran itu sendiri.

Kamulah KEMERDEKAAN
kamulah DIRI-MURNI yang MERDEKA
sesuatu yang tidak dapat kamu duga
darimana setiap pengalaman dan gagasan tentangnya bermunculan.

Begitulah adanya bahwa kehidupan ini diciptakan dari dasar cinta yang universal. Dengan keheningan yang mendalam kita akan menyadari bahwa kita sebenarnya adalah diri murni yang merdeka asalkan kita mampu menjaga keheningan itu bagai air danau yang tak berombak, bening dan menampakkan segala isi dasarnya termasuk sang surya, walaupun matahari berada jauh nun di sana dan bukan berada di dasar danau tersebut. Hembusan anginlah yang menyebabkan air danau berombak dan mengaburkan pandangan ke dasar danau dan pantulan sinar matahari menjadi tak beraturan seolah-olah matahari itu jumlahnya lebih dari satu.
Suatu kondisi yang luar biasa bilamana kita mampu menyaksikan diri murni yang ada dalam diri, dimana kita baru sadar betapa indahnya dunia ini bila kita mampu menontonnya dari dalam, beda kalau kita saksikan dari luar yang selalu memberikan nilai yang serba dua, sebagai pertanda bahwa yang nampak oleh mata hanyalah illusi yang berkepanjangan. Di dalam diri murni yang nampak hanyalah kenyataan, kenyataan yang abadi, hening dan suci, bebas dari nilai, waktu maupun keterikatan. Hanya kedamaian, ketulusan dan keindahan serta cinta yang terpancar bagai sinar sang surya yang menerangi jagat raya yang tanpa pilih kasih memberikan sinarnya baik kepada yang bau busuk maupun enak, kotor atau bersih, jelek atau bagus, miskin atau kaya, bertitel atau tidak, pejabat atau rakyat semuanya disinari dengan kapasitas yang sama. Itulah keabadian dan substansi, sesuatu yang hening dimana semua skenario kehidupan bermunculan.
Perjumpaan dengan diri murni akan menyadarkan kita seperti baru bangun dari tidur bahwa apa yang kita alami di dunia selama ini hanyalah sebuah mimpi yang berkepanjangan. Kita begitu capek bergulat dengan kemauan untuk memenuhi tuntutan pikiran dan ego yang tak habis-habisnya ibarat pedati yang suatu saat di atas dan di saat yang lain berada di bawah. Suatu saat senang atau suka kita tertawa dan di saat yang lainnya sedih atau duka kita menangis. Kita tak pernah merasa puas ibarat minum air laut yang menyebabkan semakin haus. Kecintaan akan sesuatu yang menghasilkan keterikatan dan kesengsaraan serta keputusasaan yang semakin menjadi-jadi tat kala kemauan tak terpenuhi.
Kita hanya terikat pada bentuk atau rupa dan nama, ibarat gadis cantik yang kita cintai setengah gila, namun cinta itu luntur dan sirna seiring dengan waktu tat kala gadis iu keriput dan nampak tua. Tinggalah ketidakpuasan atau penderitaan bathin bila cinta kita dilandasi atas penilaian pikiran atau ego yang sifatnya tidak pernah puas akan bentuk atau rupa dan nama. Pikiran yang selalu meragu dan penuh tanda tanya dan jawabannya selalu diragukan seperti benar nggak, masak ya, apa betul ya, aah mungkin, aah tidak dan sebagainya yang menghasilkan keputusan yang selalu ragu.
Mari kita ikuti wejangan kembali :
Jika kamu tahu bahwa ada sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan atau diwujudkan, maka sebaiknya jangan kamu lakukan itu, dan apabila kamu melakukannya, itu karena kamu meragukannya, meragukan apapun juga termasuk meragukan dirimu.
Meragukan adalah aktifitas pikiran, oleh karena setiap pertanyaan lahir dari pikiran.

Begitulah pikiran, kadang-kadang kita bertanya pada hal kita tahu jawabannya, toh kita bertanya juga, dan setelah dijawab, kitapun masih ragu akan jawaban itu. Demikianlah pikiran itu yang pada akhirnya sama saja dengan meragukan diri sendiri.

Jika kamu tidak bisa menerima jawaban yang bakal menyakitkan lebih baik jangan bertanya. Dan jika kamu sakit karena jawabannya, maka yang sakit bukanlah dirimu atau hatimu tetapi egomu atau pikiranmu karena yang mengharapkan jawaban adalah egomu, maka yang bisa merasakan akibatnya adalah egomu.
Dan jika kamu rasakan juga sakit itu ada di hatimu hal ini terjadi karena kamu menyangka bahwa yang berkata lewat pikiran adalah dirimu namun sebenarnya adalah egomu. Egomu telah mengambil alih kekuasaan terhadap dirimu dari dirimu dan mengaku diri sebagai DIRI.

Yang butuh jawaban adalah pikiran kita, karena pertanyaan muncul dari pikiran. Kalau jawaban tidak sesuai dengan yang diharapkan maka sakitlah pikiran kita atau ego kita, namun rasa sakit itu sering dirasakan oleh kita sebagai diri atau aku, namun yang sebenarnya sakit itu diterima oleh pikiran atau ego, karena yang butuh jawaban adalah yang bertanya. Begitulah kalau kita dikuasai pikiran atau ego, seolah-olah hati kita yang sakit pada hal tidak.

Maka seluruh dirimu dikuasai dan dikendalikan oleh egomu sedangkan kerja ego dan pikiran hanyalah terus menerus membuat pertanyaan dan meragukannya. Ketakpeduliannya terhadap jawaban yang benar telah membuat hatimu merasa sakit karena hati yang ada di bawah kuasa pikiran dan ego, hanya bisa menanggung akibat yang dilakukan ego tanpa kuasa membrontaknya.
Karena watak dari dasar HATI adalah sekedar menerima apapun yang hadir. Pikiran sama halnya dengan mulut dan HATI sama halnya dengan perut.
Mulut hanya berbuat untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan bahwa akibatnya yang menanggung adalah perut, inilah bentuk egoisme dari mulut.

Sudah sangat jelas sekali, bahwa hati selalu menerima dampak apa yang dilakukan oleh pikiran, sedangkan pikiran tidak pernah diam dan mencari kepuasan yang tak pernah berujung. Panca indria yang berfungsi sebagai sensor, menangkap sinyal dan diolah di hyphotalamus (otak). Karena merupakan olahan sudah barang tentu banyak mengandung nilai dan terbagi menjadi dua kutub besar yaitu nilai yang serba dua, yaitu baik buruk, benar salah, ya atau tidak dan lain sebagainya yang menghasilkan keputusan yang selalu mendua.

Begitu pula pikiran yang kerjanya terus menerus membuat keinginan dan rencana-rencana pertama belum selesai sudah muncul rencana lainnya dan begitu seterusnya.
Namun akibat-akibat keinginan dan rencana itu HATILAH yang menanggung, rencana-rencana yang terbengkalai menimbulkan kegagalan.
Kegagalan demi kegagalan akan melahirkan kegelisahan dan ketakutan dan inilah yang ditanggung oleh HATI yang masih dikuasai oleh ego dan pikiran.
Maka hanya KESADARAN yang mampu membebaskan HATI dari kungkungan pikiran dan ego dengan menyadari bahwa ”Aku Bukan Badan” dan ”Aku juga Bukan Pikiran” dan ”Aku juga Bukan Perasaan” ”Aku adalah RUH atau ATMA Yang Abadi yang tidak terikat oleh apa yang dibutuhkan Badanku Pikiranku ataupun Perasaanku”
Kamulah KESADARAN itu.

Untuk lebih memahami hal tersebut, selanjutnya mari kita bermain dengan kata-kata sebagai berikut :
Ini rumah saya
Ini mobil saya
Ini istri saya
Ini pacar saya
Ini kepala saya
Ini tangan saya
Ini perut saya
Ini ............. dan seterusnya........
Namun yang jelas bukan saya
Karena semuanya itu hanya merupakan pengakuan pikiran. Semuanya obyek di luar yang tak kekal adanya. Lalu siapa saya? Hanya dalam keheningan yang mampu menjawabnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Sekali lagi begitu kesadaran tercapai akan diri murni yang selalu merdeka, kita bagai baru bangun dari tidur panjang, namun seperti biasanya orang yang baru bangun tidur masih belum pulih benar kesadarannya apalagi masih kepupungan (setengah sadar). Kalu tidak disadarkan terus menerus biasanya kita ketiduran lagi. Kenapa ? Karena memang enak tidurnya dan dalam dunia nyata keterikatan kita akan kesenangan duniawi akan selalu menggiring kita untuk bergelut kembali, atau kembali tidur nyenyak dan mimpi indah akan duniawi. Salahkah?
Sebagai manusia biasa hal tersebut wajar dan manusiawi, karena memang kita hidup di alam ini masih mempunyai tugas, kewajiban dan tanggung jawab. Namun yang terpenting, begitu sadar akan keberadaan diri murni, akan senantiasa memandu kita untuk menjalankan kewajiban duniawi hanya sebatas pelayanan yang dilandasi rasa tulus dan ikhlas bagi sesama, alam dengan segala isinya dan Tuhan, tanpa pernah mengharap hasil atau buah karma yang kita lakukan. Karena pada hakekatnya pelayanan tersebut adalah pelayanan bagi diri sendiri. Hal ini terjawab bila kita telah mampu bangun dari tidur dengan mimpi-mimpi tersebut, yang selanjutnya menapak pada tingkatan sebagai seorang Perindu.
Perindu, bak seorang yang sedang jatuh cinta, hati selalu berbunga-bunga dan bila satu hari saja tak bertemu maka gunungpun akan ku daki, samudra dan badaipun akan ku arungi, banjir bandangpun akan ku seberangi, begitulah tekadnya bila kekasih kita tak ketemu. Sama halnya bila kita telah bangun dari tidur, ingin rasanya selalu bangun dan tak tertidur kembali meskipun kewajiban dan tanggung jawab di dunia maya ini masih menjadi tugas yang mesti dilakoni. Perjumpaan dengan diri murni begitu indahnya, bagai pucuk dicinta ulam tiba, begitu mesra bagai sepasang kekasih lagi dimabuk cinta. Bertemunya sang pecinta dengan yang dicinta, hanya cinta yang mengikat keduanya, cinta yang universal nan agung. Sirnanya berbagai prasangka maupun nilai, hanya ketulusan dan kedamaian yang terpancar.

By:
Yang Shri Madava Wayan Suratnya

Salam Tandava Nrtya
Huuu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar