Senin, November 09, 2009

BISIKAN HATI MENGAPA ORANG BALI MERAYAKAN HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

1.PENDAHULUAN
Setiap pelaksanaan hari raya Galungan dan Kuningan yang kita saksikan hanyalah suatu rutinitas formal dan miskin pemaknaan. Pada umumnya setiap menjelang hari raya besar itu, telah terbayang sebelumnya akan kewajiban dan acara yang mesti dilakukan dan sepertinya telah terformat sedemikian rupa.
Sejak kecil hanya hal-hal itu saja yang dilakukan tanpa mampu mengungkap makna lebih jauh kenapa mesti kita harus merayakannya seperti itu. Sampai kita sudah dewasa misalnya sudah berumur 40 tahun, kemudian dibagi 210 hari (6 bulan Bali) maka kita telah melewati hari Raya Galungan dan Kuningan sebanyak kurang lebih 69 kali. Bila kita mencoba untuk mengevaluasi diri dengan menanyakan ke dalam diri apakah ada perubahan pemahaman atau pelaksanaan dan prilaku yang lebih baik. Jawabannya kita sendiri yang tahu. Kalau boleh kita akui secara jujur kebanyakan dari kita cuma memahami hari raya keagamaan secara gugon tuon, anak
mule keto, yang akhir-akhir ini dilaksanakan dengan semarak namun miskin akan makna.

Hari Raya Galungan dan Kuningan pada umumnya dirayakan oleh Umat Hindu di Bali setiap 210 hari (6 bulan) yang selalu diwarnai kemeriahan karena dimaknai sebagai hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Namun di daerah lainnya di Indonesia meskipun beragama Hindu tidak dikenal adanya hari raya tersebut kecuali oleh umat Hindu yang berasal dari Bali. Di daerah asal agama Hindupun yaitu di negeri India hari raya ini dari sisi nama juga tidak dikenal meskipun makna hari raya tersebut ada pada hari-hari suci yang diperingati di India.

Kemudian kenapa hari raya Galungan dan Kuningan hanya diperingati di Bali? Inilah yang mendorong saya untuk mencari makna apa yang tersimpan di hari raya tersebut. Dari berbagai perenungan yang mendalam akhirnya penulis menemukan jawaban meskipun jawaban ini hanya berupa bisikan hati yang sifatnya personal dan membuka peluang besar bagi para pembaca untuk mengkoreksinya.

Pada akhirnya setelah apa yang saya dapat renungkan sampailah pada suatu kesimpulan bahwa para Leluhur kita begitu hebatnya dalam membumikan ajaran agama dengan harapan agar ajaran agama dapat dilaksanakan oleh umat manusia dalam berbagai tingkatan perkembangan kesadaran baik bagi para pemula yang baru mengenal agama sampai pada tingkat kesadaran yang paling tinggi. Hari raya Galungan dan Kuningan hanyalah berupa sistem pembelajaran yang secara rutin yaitu setiap 210 hari (6 bulan) akan selalu diulangi yang pada akhirnya diharapkan umat manusia menyadari dirinya untuk apa dilahirkan seirama dengan perpanjangan usianya sampai ajalnya dijemput.

Sebelumnya penulis minta maaf kepara para bijak, Tokoh-tokoh Agama, para Sulinggih maupun mohon ampun kehadapan Ida Bathara-Bathari, Leluhur dan Bethara Kawitan, Dewa-Dewi dan Hyang Widhi apabila apa yang penulis paparkan dibawah ini adalah pemahaman yang salah atau keliru.

Semua uraian dibawah ini muncul dari bisikan hati dengan sendirinya setelah penulis sedikit menekuni sepiritual akan makna kehidupan. Suatu hari penulis menyampaikan pemahaman ini kepada teman-teman dan rupanya mereka tertarik dan mendesaknya untuk ditulis. Namun dengan segala kekurangan yang dimiliki akhirnya dengan niat yang tulus penulis memberanikan diri untuk mengungkapkannya dalam bentuk tulisan sebagaimana dipaparkan berikut ini.

2.TUMPEK WARIGA/UDUH/PENGATAG/PENGARAH
Pada Tumpek Wariga ini umat sedharma melakukan persembahyangan dengan menghaturkan sesajen yang ditujukan kehadapan Sang Hyang Sangkara sebagai manifestasi Tuhan dalam menciptakan tumbuh-tumbuhan dengan doa agar tumbuh-tumbuhan tumbuh subur dan mendatangkan hasil yang berlimpah. Disamping hasil yang berlimpah juga diharapkan mampu menghasilkan dampak positif bagi kehidupan dan kelangsungan kehidupan di bumi ini dengan segala isinya.

Perayaan Galungan dan Kuningan pada dasarnya dimulai saat Tumpek Pengarah atau Tumpek Uduh yang diwarnai dengan pembuatan bubur putih yang diperuntukan bagi pohon-pohonan terutama yang buahnya bermanfaat bagi manusia dan berguna untuk keperluan sesajen seperti Pohon Pisang, Kelapa dan lain-lainnya. Pada saat menghaturkannya pada umumnya dilantunkan Sehe seperti mantram namun bukan mantram yaitu “ Kaki-kaki buin selai lemeng Galungane mangde mebuah ngeed, ngeed ngeed “ Begitulah kurang lebih kumat-kamitnya saat menghaturkan sesajen berisi bubur di depan pohon-pohonan.

Tumpek Pengarah dimaknai sebagai Pemberitahuan. Pengarah asal katanya arah mendapat awalan pe menjadikannya kata kerja yang maknanya memberikan arahan. Kata Uduh diperuntukan bagi kata pembuka bagi perintah -perintah yang sifatnya nasehat seperti kata “ Uduh Cening “ yang sering diucapkan oleh Tetua-tetua Bali kepada anak-anaknya.

Siapa yang diarahin, siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri. Secara gamblang yang dimaksudkan adalah memberi tahu diri sendiri untuk menyadari akan kehadiran kita di dunia fana ini. Untuk apa kita lahir dan kemana kita selanjutnya. Penyadaran diri dimulai dengan menerawang akan kehadiran kita yang dilambangkan sebagai bubur putih asupan bayi yang baru lahir untuk menyadari dengan siapa saja kita hadir di dunia fana ini.

Sebutan Kaki ( Kakiang/Kakek) sebagai simbul atau isyarat bahwa tumbuh-tumbuhan ( Eka Pramana) lebih tua dari kita yang berarti pula lebih dulu ada, oleh sebab itu kita wajib menghormati dan mengasihi sekaligus memberikan kasih sayang. Tanpa kehadiran mereka kita tidak mungkin bisa hidup oleh karena demikian kita juga berhutang budi padanya yang berarti pula kita harus bayar melalui yadnya dalam berbagai bentuk.
Dengan demikian pada tumpek Pengarah ini kita mesti menginstrofeksi diri agar tumbuh kesadaran diri akan makna hidup berdampingan dengan seisi alam semesta ini. Kita mesti menyadari dan mencari jawaban untuk apa Tuhan menciptakan semua ini kalau memang tiada maksudnya.

3.SUGIHAN JAWA
Sugihan bermakna kekayaan dalam diri yang berarti kewidyatmikan. Kemampuan untuk memahami sekaligus merasakan sesuatu secara bijak dan murni apa adanya tanpa muatan ego atau keakuan. Jawa yang berari Jabe yaitu di Jabe atau di Luar, di luar diri. Jadi kemampuan untuk memperlakukan segala sesuatu yang ada di luar diri secara bijak dan murni yaitu tulus ikhlas dan penuh kasih sayang. Ini disebut dengan tindakan dharma.

Tindakan dharma adalah semua tindakan tanpa dilandasi rasa pamrih atau mengharapkan imbalan. Tindakannya spontan semata-mata karena kewajiban atau kehendakNya. Tindakan yang dilandasi dengan pamrih/mengharapkan imbalan termasuk mengharapkan Pahala disebut dengan Karma, karena semua karma pada akhirnya berbuah (Phala). Karma baik akan berbuah kebaikan demikian pula sebaliknya. Sedangkan tindakan dharma akan menuntun kita kearah pencerahan diri, yang sebelumnya gelap lama kelamaan menjadi terang. Ibarat logam yang sebelumnya berkarat kalau digosok terus akan mengkilap dan memantulkan cahaya. Cahaya inilah akan membuat terang baik bagi diri sendiri maupun orang lain dan lingkungan dimanapun kita berada.

Jadi pada saat Sugiah Jawa kita diharapkan mencapai tingkat kesadaran murni akan semua yang ada di luar diri. Dengan penghayatan bahwa Narayan ewedam sarwam yang secara harfiah berarti bahwa Beliau ada dimana-mana termasuk di dalam semua ciptaannya, maka kesadaran ini akan tumbuh. Hanya Nama dan Rupa atau Bentuk yang membedakannya namun esensinya tetap sama yaitu Beliau sendiri. Nama dan Rupa hanya konsumsi bagi pikiran yang sifat dasarnya selalu memberinya nilai. Kalau sudah menyangkut nilai maka hukum dualitas mulai berlaku yang mengaburkan nilai murninya, karena nilai adalah kesepakatan pikiran. Pikiran akan berkutat tetap di alam pikiran dan tidak akan mampu menjangkau Beliau karena Beliau sendiri Tak Terpikirkan.

Secara sekale pada hari Sugihan Jawa umumnya kita melakukan upacara penyucian Bhuana Agung dengan berbagai bentuk upacara yadnya, namun sebagai pribadi pada Sugihan Jawa kita mensyukuri apa yang ada di luar diri dengan menjaga, memelihara, menyayangi, menghormati sekaligus menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis dengan berbagai bentuk/rupa yang yang ada di luar diri. Bila kita memancarkan cahaya cinta maka semuanya akan membalasnya dengan cinta dan kasih sayang.

4.SUGIHAN BALI
Sugihan Bali dimaknai sebagaimana juga pada hari Sugihan Jawa. Bali dimaknai sebagai Wali atau Mewali atau Kembali, kembali ke dalam diri. Pada Sugihan Jawa kita diharapkan mampu meningkatkan kesadaran akan hal-hal yang ada di luar diri, maka pada Sugihan Bali kita diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran diri akan Jati Diri. Siapa sebenarnya Aku ini, pertanyaan itulah yang kita upayakan untuk menemukan jawabannya.

Guru kami Yang Shri Maha Swadava menjelaskan bahwa tubuh kita terdiri dari 3 (tiga) dimensi nama dan rupa yaitu Badan Raga yang dapat dilihat dengan kasat mata yang bisa merasakan lapar, sakit atau segar bugar. Badan Jiwa yang tidak kasat mata dengan mata biasa tempat bersemayamnya pikiran, ego, rasa dan buah karma. Badan ini dapat merasakan sakit yang disebut dengan sakit jiwa. Meskipun badan raganya sudah ditinggalkannya badan ini tetap memiliki kesadaran jiwa dan berproses mengikuti siklus reinkarnasi. Dan yang terakhir adalah Badan Atman/Ruh yang merupakan jati diri yang sebenarnya yang diliputi kesadaran yang murni yaitu Tuhan sendiri.

Setiap badan mempunyai susunan cakra yang berbeda-beda. Bila kita sudah mampu mengatifkan cakra badan, kita belajar akan ilmu kekebalan yang membuat tubuh sehat dan seimbang secara lahir. Bila sudah mampu mengatifkan cakra jiwa kita akan belajar ilmu kebathinan untuk ketenangan yang sifatnya bathiniah, dan bila cakra Atman/Ruh yang diaktifkan maka kita akan belajar diri murni yang sejati yang menyangkut kebebasan akan keterikatan duniawi.

Kekuatan cakra badan ibarat air. Bila kita mempunyai sebotol air dan kita berikan kepada orang lain maka kemungkinan air itu akan habis dan kita sendiri menjadi kelelahan dan mengumpulkan air kembali. Kekuatan cakra jiwa ibarat api. Bila besar api sebesar api lilin kita berikan kepada orang lain sebanyak berapapun maka api itu tidak akan pernah habis, namun besar api lilin tetap seperti semula sebelum diberikan kepada orang lain. Kekuatan cakra atman/ruh ibarat cahaya/sinar (Nur), bila cahaya ini diberikan kepada orang lain maka muncul pantulan/sumber cahaya di tempat lain dan membuat kegelapan semakin terang. Semakin banyak diberikan kepada orang lain maka sumber sinar akan semakin membesar dan membuat terang benderang. Itulah tingkatan berbagai kesadaran, dan pada hari Sugihan Bali kita diharapkan mampu mengevaluasi diri sejauh mana sudah menggapainya untuk selanjutnya mencoba membuat target kesadaran mana yang akan dituju.

Secara sekale pada hari Sugihan Bali umumnya umat sedharma melakukan penyucian diri dengan berbagai ritual seperti mandi suci atau melukat, metirta yatra ataupun dengan berpuasa dengan berbagai tingkatan puasa maupun dengan cara-cara lainnya.

5.PENYEKEBAN
Penyekeban yang asal katanya Sekeb berarti dieram, seperti nyekeb buah pisang agar menjadi matang. Pada hari ini diharapkan kita mampu nyekeb kesadaran murni sebagaimana diuraikan pada Sugihan Bali. Tat kala kesadaran murni mampu kita rasakan maka pada hari penyekeban agar selalu dijaga agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang membuat kesadaran murni tersebut sirna kembali. Pengaruh terbesar adalah menghadapi ulah pikiran yang memang sifatnya tidak pernah diam, dia selalu bergerak kesana-kemari ibarat seekor kera yang lompat sana-sini.

Salah satu cara untuk mengendalikan pikiran adalah dengan secara terus menerus focus pada apa yang kita sedang lakukan. Jangan sampai kita sedang bekerja di tempat kerja namun pikiran kita berada di rumah. Itu artinya pikiran kita sedang jalan-jalan dan atman/ruh kitapun akan mengikutinya dengan setia kemanapun pikiran sedang pergi yang berarti pula badan raga kita ibarat rumah tanpa penghuni yang gampang dimasuki oleh hantu maupun kekuatan lainnya yang menjadikan tubuh kita mudah terserang penyakit.

6.PENYAJAN
Penyajan yang sebagaimana dimaksud dalam Bahasa Bali artinya hari dimana masyarakat sedang membuat jajan sebagai kelengkapan dalam pembuatan sesajen atau upakara dalam menyambut hari raya Galungan. Jajan sebagaimana kita ketahui umumnya terbuat dari tepung baik bahan dasarnya beras, ketan maupun terigu atau bahan pangan lainnya. Setelah tepung diolah sedemikian rupa barulah dibentuk sesuai dengan yang diinginkan kemudian baru dimatangkan.

Kalau demikian apa makna penyajan kalau kita hubungkan dengan diri sendiri? Pada hari Penyekeban kita diharapan mampu mengekang dan mengendalian keinginan dan ego yang tidak sesuai dengan sifat-sifat keilahian atau Sang Ruh Suci (Kudus) sehingga kesadaran murni tetap terjaga, maka usaha untuk mempertahankan inilah membuat kita menjadi lebih matang dan siap masak (ibarat buah-buahan) melalui penyekeban sebelumnya dan siap pula dijadikan apa saja selanjutnya sesuai dengan keperluan/jajan.

Jadi pada hari Penyajan Galungan ini kita dihapkan mampu mempertahankan kesadaran murni dari berbagai rayuan pikiran dan siap untuk melaju ke depan dalam menghadapi berbagai cobaan duniawi.

7.PENGEJUKAN
Pengejukan (Bahasa Bali) secara harfiah diartikan mengkondisikan binatang yang akan dijadikan upakara/Kurban (seperti Babi, Ayam, Itik, Kerbau dan lain-lainnya) misalnya dikandangkan atau diikat sehingga pada saatnya tinggal mengambil saja untuk selanjutnya dipotong.

Jadi apa makna pengejukan dalam kesadaran diri? Apanya yang diejuk? Yang dimaksudkan disini adalah bila kesadaran murni telah sampai pada tahapan sebagaimana diuraikan saat Penyajan, maka diharapkan mampu untuk mengikat berbagai bentuk produk dari pikiran seperti rasa keakuan/ego, nafsu birahi, amarah, kebencian, irihati, ketamakan dan berbagai bentuk keterikatan akan duniawi. Pada tahap ini diharapkan mampu membedakan mana aku yang sebenarnya (diri murni) dan mana pikiran. Ini memang sulit, namun yakinlah kita sedang dalam proses. Suatu saat bila kita latih dan lakoni secara terus menerus dibawah bimbingan orang bijak (Guru) yang tepat, maka pada tahapan ini Tuhan pasti memberi jalan bila kita bersungguh-sungguh.

Cara membedakan mana pikiran dan mana tidak pada tahap dasar adalah dengan memahami dengan benar dan melakoninya mana itu kebutuhan dan mana keinginan. Contoh kecil kalau lapar butuh makan, apapun yang membuat kenyang perut dan tidak lapar itulah kebutuhan. Demikian sebaliknya kalau belum makan Gule dan Sate Kambing baru merasa kenyang itulah keinginan. Jadi yang lapar bukan perutnya melainkan lidah dan mulutnya. Tubuh butuh pakaian untuk melindungi tubuh dari kedinginan/kepanasan dan kemaluan, sepanjang itu bersih dan bentuknya sopan sebenarnya sudah cukup, lain halnya kalau belum menggunakan merk ternama rasanya belum berpakaian. Banyak lagi contoh untuk membedakan pikiran yang banyak maunya dengan diri murni yang hadir apa adanya. Mengikuti pikiran akan melahirkan keterikatan dan bila mengikuti diri murni akan melahirkan pembebasan akan keterikatan duniawi.
Musuh utama kalau sudah begini adalah pujian, semakin senang kita dipuji maka kita semakin dikuasai pikiran dan membuat kita akan sengsara. Mohon disadari apapun yang kasat mata yang kita saksikan di dunia ini semuanya belum pantas untuk dipuji, hanya satu yang pantas untuk dipuji yaitu Tuhan sendiri. Kalau kita senang dipuji berarti kita telah merampok hak Tuhan. Kalau kita dipuji ada baiknya kita sampaikan “ Suksme “ semoga Tuhan memberkatinya, dan saudara kita yang muslim menyebut Alhamdullillah yang artinya hanya Allah yang mempunyai hak terpuji. Suka dipuji akan menyuburkan rasa keakuan dan kita akan dikendalikan oleh pikiran dan kesadaran murni akan semakin sirna.

Demikianlah tantangan pada Hari Pengejukan, yang pada hari itu kita diharapkan telah mampu mempertahankan kesadaran diri murni dan membedakan mana pikiran dengan berbagai produknya dan mana diri kita yang sebenarnya, ibarat akan maju perang maka kita terlebih dahulu harus mengenali dengan baik mana teman dan mana lawan/musuh.

8.PENAMPAHAN GALUNGAN
Pada hari Penampahan Galungan umat sedharma secara umum memotong hewan Babi dan diolah ke dalam berbagai bentuk masakan, seperti Lawar, Komoh, Sate, Penyon, Tum, Remikan, Urutan dan lain-lainnya untuk di konsumsi bersama keluarga dan saling Ngejot dengan saudara maupun tetangga. Disamping itu pula juga dipakai pelengkap sesajen khususnya yang dihaturkan ke Teben (Banten Teben) agar tidak diganggu oleh Sang Kala Tiga Galungan. Beberapa tempat juga dihaturkan kepada Leluhur, Bethara Hyang dan Bethara-Bethari.

Pada hari itu dalam seharian perut kita dimanjakan dengan berbagai bentuk masakan yang pada umumnya berasal dari daging Babi. Ini sudah mentradisi bagi penulis semenjak ingatan terekam di memori otak memang sudah seperti itu sampai sekarang dan muncul pertanyaan kenapa bukan daging yang lainnya kenapa mesti daging Babi. Apa makna hewan babi dan apa makna penampahan galungan dan apa sekedar persiapan konsumsi untuk hari raya Galungan besok harinya ? Berbagai pertanyaan muncul bila menjelang hari Penampahan Galungan.

Pada akhirnya setelah penulis belajar sedikit sepiritual dan menanyakan kepada Guru, beliau mengatakan bahwa Hewan Babi secara universal disepakati sebagai simbul “ Kebodohan “ sebagaimana sifat-sifat Babi kalau didorong disuruh maju malahan dia mundur, namun tat kala kita hadang dari depan malahan menggigit. Kalau kenyang dia tidur dan kalau lapar dia ribut minta makanan, maunya cuma makan dan tidur. Nah kalau sifat ini dimiliki manusia ia akan malas cuma mau enaknya saja, disuruh maju malahan dia mundur dan bila dituntun dari depan disuruh mengikuti malahan tidur, bila dimarahi dia akan mencelakai.

Jadi penulis memaknai bahwa pemotongan hewan babi tat kala Penampahan Galungan adalah sebagai simbul kita melawan kebodohan. Kebodohan yang dimaksudkan adalah berbagai bentuk karya pikiran yang bertentangan dengan sifat-sifat Diri Murni/Atman/Ruh, sebagai mana diuraikan pada hari Penyajan. Secara umum dimaknai pertempuran Dharma melawan Adharma.

Itulah sasaran utama yang diharapkan mampu kita capai pada hari Penampahan Galungan, dimana kesadaran murni telah mampu menguasai pikiran yang sebelumnya pikiran yang mengendalikan kita maka pada hari itu telah berbalik yaitu kitalah yang mesti menguasai pikiran sekaligus mengendalikannya. Jadi kita ambil alih tongkat komando dan sebagai simbul kemenangan ini pada sore harinya kita pancangkan Penjor sebagai simbul kemenangan dan Natab banten Penampahan Galungan sebagai wujud bersyukur.


9.GALUNGAN
Sehari setelah hari Penampahan Galungan yaitu pada Hari Rabu (Bude Keliwon, Wuku Dunggulan) umat sedharma merayakan Hari Raya Galungan, yang selama ini dipahami sebagai hari kemenangan dharma melawan adharma. Sebelum matahari terbit para Ibu-ibu sibuk menghaturkan sesajen mulai dari tempat ibadah yang ada di rumah sampai kahyangan Desa, bahkan sampai di Pura Subak, Kantor maupun tempat-tempat lainnya dimana kita mencari rezeki. Semua anggota keluarga melakukan persembahyangan bersama khususnya di tempat pemujaan para leluhur baik di Pemerajan, Pura Dadia maupun Pura Kawitan lainnya sebagai wujud syukur.

Kebiasaan tersebut telah menjadi kebiasaan bila saatnya Hari Raya Galungan tiba, yang lama kelamaan dikhawatirkan pelaksanaannya secara ritual begitu semarak namun miskin akan makna. Ditambah lagi prilaku generasi kita belakangan ini lebih mementingkan seremonialnya dari pada upaya peningkatan kwalitas diri. Beberapa hari menjelang hari raya, sebagian besar generasi kita membuka Bazar berkedok penggalian dana. Namun apa yang sebagian besar makna yang didapat hanyalah merupakan acara hura-hura dengan mengadopsi budaya asing. Belakangan ini bukannya nyanyian rohari yang berkumandang saat hari raya, malahan musik-musik barat yang kadang-kadang telinga kita terasa budek mendengarnya.

Sepertinya nilai-nilai luhur sepiritual yang penuh kedamaian semakin jauh diganti dengan nilai-nilai yang penuh dengan dinamika eksotik, hingar bingar diselimuti emosi dan sifat-sifat Rajas. Namun yang membuat kita semakin prihatin kita tidak mampu membendungnya akibat kemajuan teknologi informasi yang menggelobal. Kalau sudah demikian bagi yang menyadari hanya bisa berpasrah diri seraya memanjatkan doa semoga saja umat manusia ke depan akan segera menyadari betapa pentingnya menyelaraskan diri baik kepada Tuhan, antar sesama maupun dengan alam semesta dengan segala isinya agar manusia masa depan dapat hidup damai dan jagadhita. Bukan saling bermusuhan maupun berlomba-lomba unjuk ego dengan merusak isi alam semesta raya ini.

Selanjutnya kembali kepada pelaksanaan hari raya Galungan sebagaimana disinggung sebelumnya yang merupakan hari perayaan kemenangan dharma melawan adharma, maka puncak peperangan dan dinyatakan menang adalah pada saat hari Penampahan Galungan, dimana kita telah mampu menguasai diri dan mampu memerintah dan mengendalikan pikiran. Kemenangan pada saat itulah pada esok harinya dirayakan. Kenapa perayaan ini disebut Galungan? Penulis memaknai dari kata Galungan tersimak arti “Galang”, sedangkan galang (Bahasa Bali) berarti terang seperti cuaca terang atau cerah. Apanya yang terang atau cerah, tiada lain adalah suasana bathin kita yang terang setelah menang dalam pertempuran. Tat kala kita telah mampu menguasai, mengendalikan dan memerintah pikiran maka bathin kita menjadi hening, hening inilah menuntun kita kearah kehidupan yang serba terang dan dari luar secara kasat mata maka wajah kita selalu diselimuti kecerahan baik dikala duka apalagi suka akan selalu bercahaya membawa suasana kedamaian bagi siapapun berada didekatnya, bak cahaya ditengah kegelapan.

10.UMANIS GALUNGAN
Pada umumnya pada hari Umanis Galungan yaitu H+1, umat sedharma saling kunjung mengunjungi antar saudara dan handai taolan untuk mempererat tali persaudaraan.Di beberapa tempat pada hari ini masih dilaksanakan persembahyangan bersama karena ada Upacara Piodalan di Pura, baik tingkat Tri Kahyangan, Dang Kahyangan maupun Sad Kahyangan.

Kemudian makna apa yang tersirat pada hari Umanis Galungan? Umanis merupakan hari pertama perhitungan Panca Wara, yang berarti pula hari pertama untuk melakoni makna apa yang dirayakan sebelumnya. Kesadaran diri murni harus tetap dipertahankan dan dijadikan sumber dalam memerintah pikiran, berucap dan berbuat. Hal ini memang sulit, namun suatu pijakan dapat ditanam dalam hati dalam-dalam yaitu semua pengalaman hidup sebelumnya kita harus ihklaskan jangan sampai meracuni atau menggelapkan kesadaran murni yang ada. Anggap saja kita sedang bermain sinetron bahwa semua itu hanyalah lakon yang mesti diperankan selama ini. Lascarye-lah karena semua itu sudah lewat. Anggap saja kita baru saja lahir dan hadir di muka bumi ini dan pikiran kita terus difokuskan pada saat ini, di sini dan sekarang, selalu sekarang dan di sini, lagi sedang apa kita sekarang. Fokuskan pada kegiatan jangan sampai pikiran diganggu yang mengakibatkan melamun yang membuat keterpisahan antara raga dengan pikiran. Bagi yang Atman/Ruhnya belum bangkit maka dengan mudah dibawa pikiran kesana kemari yang mengakibatkan badan raga kita kosong dan kesadaran murni akan lenyap. Jangan memikirkan yang nanti atau besok atau masa depan dengan berbagai hayalan karena semuanya itu penuh dengan ketidakpastian.

Cita-cita boleh saja ditetapkan namun jalan menuju cita-cita itu haruslah pokus sekarang yang terpenting jalan tersebut telah menuju ke sasaran cita-cita itu. Biarkan cita-cita itu hanya tujuan, tentang sampai atau tidak pada cita-cita itu biarlah Hyang Kuasa menentukannya. Ibarat kita menuju Kawasan Wisata Bedugul maka fokus pikiran sejak berangkat haruslah sekarang misalnya sedang naik motor atau mobil. Fokuslah pada kendali kendaraan kita biar tidak salah arah maupun menabrak kendaraan lain. Bila sebaliknya dalam sepanjang perjalanan pikiran kita sudah di Bedugul maka kemungkinan besar kendaraan dari depanpun tidak akan kita sadarari dan kemungkinan menemui kecelakaan sangatlah besar. Jadi untuk nanti, besok atau tahun depan haruslah berpasrah diri karena kalau kita pikirkan terus itu tidak lebih dari ilusi pikiran yang mebuat kita tidak percaya diri. Pastikan dalam diri bahwa cita-cita tercapai, namun kapan tercapainya pasrahkan kepadaNya.

Bila kesadaran murni tetap terjaga sebagaimana dicapai saat kemenangan maka hidup ini akan menjadi indah dan damai serta alampun sepertinya menyapa dengan penuh kasih sayang. Kita mulai dapat menangkap energi kosmis yang menyeliputi diri kita. Sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui akan muncul jawaban dari dalam, bila kita peka menangkap sinyal-sinyal yang muncul dari keheningan yang tercipta.

11.PEMARIDAN GURU
Pada hari Pemaridan Guru, umat sedharma mengahaturkan sesajen kehadapan Hyang Widhi dengan doa agar selalu mendapat perlindungan dalam melaksanakan dharma. Namun pada hari ini tidak nampak kemeriahan seperti pada hari Raya Galungan maupun pada hari Umanis Galungan. Pemaridan Guru merupakan rangkaian dari Hari Raya Galungan itu sendiri.

Selanjutnya apa makna yang tersirat pada hari tersebut, bila dikaitkan dengan prosesi atau rangkaian Hari Raya Galungan? Tidak banyak literature yang ada untuk menjelaskannya kecuali pelaksanaan yadnya atau ucapan terimakasih kehadapan Hyang Widhi atau kehadapan para Leluhur.

Pemaridan Guru menurut penulis secara harfiah kalau dilihat dari kata Pemaridan atau Memarid (kata kerja) berarti memohon dan mengambil berkah yang disimbulkan dengan mengambil kembali (Ngelungsur) banten/sesajen yang telah dihaturkan. Banten yang biasanya berisi buah dan kadang-kadang berisi daging ayam atau itik langsung bisa dimakan sebagai simbul berkah Hyang Maha Kuasa. Sedangkan Guru disini adalah Guru dari segala Guru yaitu Tuhan itu sendiri. Karena atas karunia Beliau sehingga kita telah mampu meningkatkan kwalitas diri.

Jadi berkah apa yang kita dapat bila dikaitkan dengan diri pribadi? Tiada lain adalah berkah berupa kemampuan diri sendiri telah mampu merasuki jati diri yang sebenarnya yaitu baru sebatas mencapai kesadaran murni sebagai mana dijelaskan pada saat hari kemenangan. Namun satu hal yang harus kita lakukan adalah dalam menjalankan atau menjaga kesadaran murni ini haruslah kita mencari pembimbing atau Guru sekale, karena tanpa pembimbing maka kita bisa saja salah arah. Sedikit orang yang mampu berguru pada Guru niskale, kecuali memang mereka sejak lahir telah banyak menunjukkan kemuzizatan.

Guru sekale memegang peranan amat penting tat kala kita mulai mampu menjaga kesadaran murni. Atas bimbingan guru kita dapat dengan terarah menggali kesadaran murni tersebut dengan menelusuri keheningan melalui pengosongan diri. Apalagi Guru tersebut mampu membukakan cakra Ruh/Atman, maka cara cepat mengembalikan kesadaran murni segera dapat dilakukan.
Oleh karena demikian segala berkah dari Hyang Maha Kuasa dan bimbingan Guru Sekale, pada hari Pemaridan Guru ini wajib hukumnya untuk bersyukur dan sujud bhakti kepada Guru. Meskipun Guru sekale berupa manusia biasa bila kita telah sampai di kesadaran murni, kita bersujud dihadapannya bukanlah suatu pemberhalaan. Jangankan berbentuk manusia, batupun bila kita sujud didepannya bukanlah kita menyembah berhala. Karena pada saat sujud yang berpadu itu adalah hati dengan hati, tidak tergantung apapun yang ada di depan kita. Maka egopun akan sirna. Oleh karena demikian sudah wajib hukumnya kita sujud kepada Guru, Orang Tua dan yang lebih tua dari kita dan kalau kita mampu sujudlah kepada semua orang tanpa memandang Bentuk/Rupa, Nama maupun embel-embel sosial lainnya maupun terhadap se isi alam semesta ini. Karena pada dasarnya kita sujud terhadap siapa yang ada pada inti paling dalam dan hakiki yang ada di dalam bentuk maupun rupa tersebut (Narayand Ewedam Sharwam). Kalau hal ini mampu kita lakukan dengan ihklas dan spontanitas hanya semata-mata karena dharma, maka kita akan menjadi orang yang rendah hati namun bukan rendah diri. Egopun akan semakin menjauh dari diri kita.

Pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan tentang Berhala, agar kita tidak tersesat dengan pemahaman Berhala yang secara umum dipahami oleh masyarakat selama ini, bahwa berhala itu berupa batu, patung maupun pretima yang sering digunakan sebagai media pada persembahyangan di kalangan umat Hindu. Yang sebenarnya disebut dengan Berhala adalah sesuatu bentuk bayangan yang muncul sebagai akibat dari persepsi pikiran saat kita mulai memejamkan mata di saat sembahyang. Bentuk bayangan itulah disebut Berhala, karena Tuhan sendiri tidak seperti bentuk yang kita bayangkan. Pikiran hanya sebagai alat Bantu saat mulai konsentrasi, selanjutnya hatilah yang berbicara. Janganlah berhubungan dengan Tuhan melalui pikiran, karena Tuhan sendiri tak terpikirkan seperti yang telah dijelaskan.



12.ULIHAN GALUNGAN
Pada saat hari Ulihan Galungan umat sedharma kembali menghaturkan sesajen kehadapan Bathara-Bathari dan Hyang Widhi guna memohon waranugrahanya baik kepada umatnya maupun kelestarian alam semesta.

Ulihan (Bahasa Bali) berarti kembalikan, Ulihan Galungan secara harfiah diartikan kembalikan Galungan. Yang dimaksudkan adalah kembalilah kepada kondisi Galang/terang atau hening seperti saat Hari Kemenangan. Setelah mendapatkan berkah dari Guru Agung dan petunjuk Guru Sekale agar kembali kepada kondisi bathin saat Hari kemenangan dan diupayakan terus dipertahankan dengan mengarahkan pikiran selalu kepada hal-hal yang positif dan menerima apa adanya setiap kondisi yang menimpa kita. Kalau lagi bahagia terimalah itu semata-mata karenaNya demikian sebaliknya tat kala lagi sedih terima juga apa adanya karena semua itu semata-mata sedang melaksanakan peran dari skenario agung dariNya. Kita harus menyadari bahwa Umat PilihanNya adalah insan-insan yang tangguh dalam menghadapi tantangan dan cobaan hidup. Tidak mudah menyerah maupun putus asa, sabar dan tidak mengeluh.

Tidak mengeluh adalah tingkatan utama dalam pengendalian diri. Untuk mencapai tingkatan ini, kebanyakan ditempuh mulai dari puasa dengan tidak makan maupun minum, kemudian puasa pengendalian kemarahan maupun hawa nafsu. Tingkatan selanjutnya adalah tidak mudah untuk minta tolong maupun memohon termasuk memohon kepadaNya. Kita mesti banyak memberi, buka meminta maupun menerima. Meminta maupun memohon berari kita masih kekurangan. Orang yang kekurangan atau selalu merasa kurang sebenarnya orang miskin. Kalau termasuk orang miskin jangan harap dapat memberikan bantuan. Kaya dan miskin disini berarti dalam pengertian luas bukan hanya menyangkut material dunia. Mohon dapat dibedakan orang yang kaya hati dengan miskin hati atau orang kaya kasih sayang dengan miskin kasih sayang!


13.PEMACEKAN AGUNG
Pada saat Hari Pemacekan Agung umat sedharma kembali menghaturkan sesajen yang ditujukan kepada Panca Maha Bhuta di halaman rumah dan di Kahyangan agar umat tidak diganggu oleh Sang Kala Tiga Galungan.

Makna apa yang dapat kita petik dari Hari Pemacekan Agung serangkaian dengan hari-hari sebelumnya khususnya setelah Hari Ulihan Galungan? Kata Pemacekan asal katanya kuirang lebih dipasakan atau dipakukan. Pacek (Bahasa Bali) sama dengan pasak agar sesuatu menjadi kuat dan menyatu. Kemudian apanya dipasak? Tiada lain adalah kesadaran murni saat hari kemenangan agar selalu menguasai diri, bukan lagi didominasi oleh penguasaan pikiran. Sehari-hari identik dengan perkataan dan perbuatan yang bersumber dari hati nurani, namun yang dimaksudkan jauh lebih dalam dari sekedar hati nurani. Namun secara bertahap dan berproses tahapan itu pasti tercapai bila diupayakan secara berkesinambungan.

Dalam hal ini ditekankan untuk berkomitmen bahwa kemenangan yang telah dicapai mesti harus dipertahankan dan terus ditingkatkan kwalitasnya. Mulai dari Hari Pemacekan Agung kita berupaya untuk lebih berkotemplasi guna mendekatkan diri kepada Hyang Agung (Ruh Agung) atau yang kita kenal dengan sebutan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa. Kontemplasi saat berpikir, berkata dan berbuat didasari oleh kesadaran murni bahwa semuanya menyatu, bukan terpisah. Contoh kecil dapat disampaikan disini seperti saat berkerja. Pikiran, perkataan dan apa yang dikerjakan semuanya menyatu, jangan sampai ditempat kerja, pikiran kita kemana-mana tidak pokus pada apa yang dikerjakan. Ini berarti Ruh kita yang masih tertidur lelap akan dibawa oleh pikiran seperti yang dijelaskan sebelumnya. Melalui kesadaran murni inilah sebenarnya kita sedang membangunkan Ruh kita agar bangkit dan mengendalikan aktivitas kita. Ruh yang mulai sadar dan siuman dari tidur mesti harus dipertahankan jangan sampai tertidur kembali. Karena pada saat ini merupakan moment yang sangat sulit. Ibarat yang baru bangun tidur apalagi dalam tidurnya bermimpi indah akan kepingin pulas kembali menharap mimpi tadi berlanjut.
Oleh karena demikian kita mesti berjuang dengan selalu tegar agar tidak tertidur kembali dengan tetap mempertahankan kesadaran murni yang telah dicapai.

14.KUNINGAN
Hari Raya Kuningan yang jatuh pada hari Sabtu Keliwon Wuku Kuningan adalah hari yang ditunggu-tunggu setelah merayakan Galungan. Jarak Galungan dengan Kuningan adalah sepuluh hari kalender. Umat sedharmapun kembali berbondong-bondong melakukan persembahyangan bersama. Sesajen yang umum dibuat pada Hari Raya tersebut adalah Nasi Kuning yang dihaturkan kehadapan Bathara-Bathari dan Ida Sanghyang Widhi baik di rumah yaitu di Pemerajan maupun di kahyangan. Itu semuanya telah dilakukan sesuai dengan pakem yang telah ditentukan dan semua itu bermakna sebagai ucapan terima kasih kepada Hyang Maha Agung atas anugrah yang telah dilimpahkan. Akhir-akhir ini ada himbauan agar pelaksanaan persembahyangan/upacara agar dilakukan sebelum jam 12 siang. Entah apa maknanya ? dan apakah setelah jam 12, Tuhan itu tidak lagi menerima persembahan maupun doa umatnya? Hal ini perlu dijelaskan kepada kita semua oleh instansi/lembaga yang berwenang.

Selanjutnya mari kita maknai Kuningan itu lebih dalam. Bagaimana dengan Bhuana Alit yaitu bagi diri sendiri? Apa yang mesti digali pada hari raya tersebut?
Kuningan lebih dekat dengan kata “keuningan”(Bahasa Bali) yang asal katanya “uning” yang berarti tahu atau mengetahui. Pertanyaannya, tahu atau mengetahui tentang apa atau siapa? Kalau kita kembali pada hari Pemacekan Agung sebelumnya yang saat itu kita telah berupaya berkomitmen untuk menjaga tetap ajegnya kesadaran murni dalam diri kemudian kesadaran murni itu menguasai sebagian besar kendali atas diri, maka pada hari raya Kuningan Ruh atau Atman kita sendiri akan tahu dan nampak (ini tergantung dari kemajuan masing-masing diri pribadi). Ruh/Atman itu berwujud sama seperti wujud sekale diri pribadi. Yang membedakannya sang Ruh/Atman selalu memakai pakaian jati diri sesuai dengan kesenangan sang Ruh/Atman. Ada yang suka kuning, putih, oranye, ungu, hitam, jingga dan warna lainnya. Itulah jati diri kita, diri yang murni apa adanya.
Mengenai Ruh atau Atman kita teringat akan ayat Wedha yang mengatakan “ Brahman Atman Aikyam “ yang kurang lebih artinya Brahman (Tuhan) dan Atman/Ruh itu tunggal. Berangkat dari pengertian itu maka para Tetua kita sering mengatakan bahwa “ Widhine ade di Deweke ‘ yang artinya Tuhan itu ada di dalam diri. Juga sering dikatakan bahwa Tuhan yang berwujud itu adalah Ruh/Atman kita, sedangkan Tuhan Yang Universal tiada berwujud.

Pengertian-pengertian tersebut baru akan dipahami dengan betul bila kita telah mengalami bukan dari mendengar apa yang dikatakan orang. Kalau mendengar itu baru sampai pada tingkatan keyakinan yang memerlukan pembuktian. Sedangkan pembuktian haruslah dilakukan oleh diri sendiri. Beda dengan yang sudah mengalami, mereka tidak butuh lagi keyakinan, karena keyakinan masih menyisakan ketidakpastian.

Bila saat Hari Kuningan ini kita telah mampu melihat dengan mata bathin akan keberadaan Ruh/Atman kita sendiri suatu pertanda pendakian sepiritual kita telah mengalami kemajuan pesat dan tidak sembarang orang mampu mencapai tingkatan ini. Bila hal ini kita mampu capai tentunya atas tuntunan Sang Guru, maka mulai saat itu diharapkan terus melakukan komunikasi bathin agar badan raga yang bermuatan karma ini sebagian besar dikendalikan oleh sang Ruh/Atman atau selalu dalam keadaan kotemplasi sampai hari Bude Keliwon Wuku Pahang (Bude Keliwon Pegatwakan) yang jaraknya 25 hari dari Hari Raya Kuningan atau 35 hari kalender (Satu Bulan Bali) dari Hari Perayaan Kemenangan yaitu saat Hari Raya Galungan. Dalam rentang waktu itu bagi kita yang dalam proses pendakian sepiritual atau belum mampu berjumpa dengan Ruh/Atman diri sendiri diupayakan dengan melakukan puasa seperti tingkatan puasa yang telah disinggung sebelumnya tergantung kondisi masing-masing. Berpuasa dalam berbagai tingkatan merupakan salah satu upaya penyelarasan menuju sifat-sifat Ruh/Atman yang memang hadir apa adanya.



15.BUDE KELIWON PAHANG/PEGATWAKAN
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya saat perayaan hari kemenangan pada Hari Raya Galungan kemudian disusul dengan pendakian sepiritual seperti telah diuraikan maka pada Hari Bude Keliwon Wuku Pahang/Pegatwakan dengan meminjam istilah umat muslim pada hari tersebut disebut dengan Lebaran atau kita telah sampai kepada kondisi fitrah/fitri atau suci sebagaimana bayi baru lahir yang kedewan-dewan(Bahasa Bali) yang artinya kita lebih didominasi oleh sifat-sifat keilahian. Pada saat itulah kita baru di “Wakan” seperti pada permainan sembunyi-sembunyian kalau temen kita tidak ketemu kemudian di wakan atau disudahi atau lebar. Pegatwakan terdiri dari dua kata “Pegat” yang artinya putus dan “wakan” yang artinya kurang lebih disudahi. Jadi Pegatwakan lebih dekat berarti putus/selesai sampai disini. Ibarat Pendidikan dan Latihan (Diklat) pada hari ini adalah Hari Penutupan yang ditandai dengan pemberian Sertifikat telah mengikuti Diklat atau Tanda Kelulusan. Untuk selanjutnya kita praktekan apa yang didapat selama Diklat dalam melakoni hidup selanjutnya. Secara sekale pada umumnya umat sedharma mencabut Penjor yang kita pasang saat hari kemenangan yang tersirat makna bahwa nilai-nilai kemenangan itu akan menjadi motivator dalam menjalani hidup selanjutnya.

Kalau kita ingat kembali mulai kita sadar akan adanya hari raya keagamaan, maka selalu muncul pertanyaan, entah berapa kali hari raya sudah kita lewati namun perkembangan diri menuju hakikat hidup yang hakiki, mungkin kita masing-masing sudah tahu jawabannya. Tinggal sekarang tergantung komitmen diri apa yang menjadi ketetapan dalam hidup kali ini. Itu terserah kita memutuskan secara merdeka dengan menanyakannya ke dalam diri masing-masing.

by:
Yang Shri Madava Wayan Suratnya

Salam Tandava Nrtya
Huuuuu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar