Rabu, November 04, 2009

KENALI WARNA DIRIMU

Warna dalam realitasnya di masyarakat disamakan dengan Kasta yang memposisikan manusia ke dalam perbedaan golongan yang dikaitkan dengan status sosial, dimana golongan Brahmana menduduki status sosial yang derajatnya paling tinggi termasuk keturunannya. Hal ini sah-sah saja sesuasi dengan perkembangan sosial, budaya dan peradaban zaman yang bergerak dinamis. Seperti halnya yang ada di berbagai daerah dan masing-masing Suku maupun Ras memiliki perbedaan status sosial dengan sebutan yang berbeda-beda namun bila dikelompokan masih dalam koridor empat besar warna

yang ada.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat terhadap Warna maupun Kasta tersebut selalu berproses dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan memang itu wajar adanya sesuai dengan tingkat kualitas sumber daya manusia pada zamannya. Secara umum, pemahaman yang kita lalukan sebagian besar menggunakan olah pikiran. Pemahaman dengan menggunakan pikiran akan memunculkan sebuah nilai dan nilai akan mengandung makna positif maupun negatif. Ada sisi positif dan ada pula sisi negatifnya (thesis dan antithesis). Sisi mana yang mendapat porsi yag lebih besar tergantung yang menilainya. Sekali lagi itu sah-sah saja karena kita dibekali dengan kemampuan yang berbeda-beda. Sebuah nilai hanyalah sebuah Pernyataan dan bukan Kenyataan. Seperti adanya hujan, marilah kita terima apa adanya tanpa memberi nilai. Bila diberi nilai akan selalu mengandung dua makna. Hujan akan diberi nilai positif oleh para petani tatkala musim tanam berlangsung kekeringan, namun sebaliknya akan diberi nilai negatif oleh para pedagang es. Demikianlah adanya nilai itu, sekali lagi hanya sebuah pernyataan.

Warna dalam Catur Warna yang ada dalam Kitab-kitab Suci Hindu yang secara bebas dapat diartikan adalah empat warna klasifikasi manusia berdasarkan pekerjaan dan kewajibannya (swadharmanya) yang sebagian besar dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Empat warna tersebut antara lain : Sudra, Waisia, Ksatria dan Brahmana. Golongan yang termasuk Sudra adalah mereka yang pekerjaannya termasuk pekerja kasar seperti petani, buruh dan pekerja yang sejenis. Waisia adalah golongan yang bergerak di bidang pergerakan barang dan jasa seperti pengusaha, pedagang dan penjual jasa lainnya. Ksatria adalah golongan yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan seperti dibidang Pemerintahan dan Pertahanan/Keamanan. Sedangkan Brahmana adalah golongan para Sulinggih/ Rohaniawan.

Pertanyaan yang muncul apakah Catur Warna hanyalah sebuah nilai yang diperuntukan bagi obyek di luar atau kulitnya saja? Tentulah tidak, hal inilah akan dicoba untuk dikaji apa kontek Warna terebut bila dikaitkan dengan diri sendiri/personal sehingga ke depan apa yang dimaksudkan dalam Kitab-kitab suci itu dapat kita pahami dan lakoni secara benar dan tidak hanya terbatas pada sebuah nilai yang hanya mengandung sebuah pernyataan yang lebih condong ingin mendapatkan pengakuan dari luar yang justru menyuburkan ego dan menjadi batu sandungan dalam pendakian spiritual.

Pada kontek personal atau diri, warna sebagaimana dimaksudkan dalam Catur Warna merupakan tingkatan dalam pendakian spiritual. Tingkatan yang paling rendah atau pemula tatkala kita masih diperbudak oleh Ego dan Diri Murni (Atma/Ruh) belum tercerahkan. Ibarat batu permata masih dibalut lumpur dan tidak menampakkan sinarnya. Pikiran begitu kuatnya dalam mengendalikan jiwa dan raga sehingga muncul Ego yang menyatakan dirinya Aku yang paling Aku, sedangkan Aku yang dimaksudkannya adalah Raga dan Jiwanya sendiri. Munculah keakuan yang kuat dan mudah menjadi sombong angkuh dan sok kuasa dan umumnya sewenang-wenang, ambisius, pemarah dan rakus. Itulah sepintas gambaran bila masih dikuasai ego sebagai pertanda warna diri kita berada dalam tingkatan Sudra.

Selanjutnya bila pikiran kita mulai terarah dan jiwa telah menampakkan tindakan raga yang humanis dan peduli dengan sesama maupun lingkungan baik sosial maupun nabati, merupakan suatu pertanda kita mulai menapak pada tingkatan Waisia. Namun kepedulian disini masih mengandung pamrih yaitu mengharapkan hasil. Seperti kaum pedagang maupun pengusaha yang selalu mengharapkan untung dan bila dipandang merugikan mereka akan mengabaikannya. Untung yang dimaksud termasuk mengharapkan Pahala maupun kelak mendapatkan Sorga. Ciri utama pada tingkatan ini adalah selalu merasa kurang. Orang yang selalu merasa kurang sebenarnya orang miskin, sehingga benar adanya akan ungkapan ”Lebih baik memberi daripada menerima” dan ”lebih baik mengasihi dari pada dikasihani” termasuk permohonan dan mengharap dikasihani Tuhan, maka jiwa kita tetap tergolong miskin karena selalu berpengharapan. Berharap tentu sah-sah saja, namun bila harapan terus menerus menjadi budak pikiran akan menguras energi dan terganggunya pencerahan jiwa karena harapan hanyalah sebuah illusi yang belum tentu terwujud dan sifatnya nanti, yang penuh dengan ketidakpastian. Tidak ada sesuatu hasil bila hanya diharapkan saja atau dipikirkan secara terus menerus. Lebih baik fokus pada saat ini yaitu tindakan yang mesti dilakukan bila target sudah ditentukan.

Ibarat kita pergi ke Kintamani yang merupakan tempat yang indah dan sejuk yang mampu menciptakan rasa damai. Bila kita hanya berharap dan memikirkannya saja maka kita tidak akan pernah sampai ke tempat tersebut. Atau meskipun kita sudah naik motor atau menyetir mobil dan berangkat ke arah Kintamani, namun dalam perjalanan pikiran kita terus tertuju dan terbayang akan tempat itu, maka kemungkinan besar kita akan nyasar atau nabrak sana-sini. Oleh karena itu maka lebih baik pikiran kita fokus pada saat naik motor sehingga arah motor tetap pada jalurnya dan selamat, sehingga hanya menunggu waktunya pasti sampai ke tempat tujuan. Sama halnya mengharap pahala, sorga maupun kasih Tuhan, apabila kita tidak fokus terhadap apa yang sedang kita lakoni apakah sesuai atau tidak dengan amanah Tuhan (Bahasa Balinya Ngelewe, antara tindakan, ucapan dan pikirannya tidak nyambung/Munafik), maka pengharapan hanya tinggal harapan yang kosong melompong atau illusi.

Apalagi sesama manusia berharap akan cintanya maka kita selamanya akan menjadi pengemis cinta. Lebih baik menjadi penyebar cinta daripada pengemis cinta, sehingga orang lain akan menampakkan cintanya. Cinta dimaksud di sini adalah cinta murni atau cinta universal dan bukan cinta nafsu, karena cinta yang terakhir tersebut di zaman ini bisa dibeli. Demikinlah sedikit gambaran bila jiwa kita masih dalam tingkatan Waisia.

Selanjutnya mari kita coba untuk mengungkap tingkatan warna Ksatria. Secara umum ksatria lekat pada sifat yang mulia, tanpa memikirkan untung rugi. Ibarat seorang tentara yang akan maju perang, mereka tidak memikirkan untung dan ruginya bagi diri sendiri dan keluarganya. Ia akan maju terus dengan semangat dan keteguhan hatinya untuk melaksanakan swadharmanya. Namun realitasnya dimasyarakat sering dipahami yang termasuk kelompok masyarakat yang tergolong Ksatria adalah masyarakat yang bertitel bangsawan tertentu. Ini sah-sah saja sesuai dengan pemahaman mereka dan tradisi yang ada. Sekali lagi itu hanya sebuah nilai yang muncul dari pernyataan. Bagaimana halnya warna Ksatria bila dipakai mengukur warna diri ?

Ksatria ditandai dengan tindakan kita yang spontan tanpa didahului oleh pikiran untung-rugi. Kalau memang merupakan kewajiban akan dilakukan dengan spontan dan lascarya (ikhlas). Seperti menolong orang lain, melaksanakan perintah atasan, melaksanakan perintah orang tua termasuk leluhur maupun Tuhan . Jadi hal ini jelas sekali dimuat dalam Kitab Suci Bhagawadgitha ketika Bhatara Khrisna memberi wejangan kepada Arjuna di medan Kurusetra tat kala Arjuna tidak percara diri dan penuh keraguan menghadapi musuh-musuhnya yang antara lain kerabat, kakek dan gurunya sendiri. Salah satu wejangan penting tersebut adalah ” Kerjakan kewajibanmu tanpa pernah memikirkan hasilnya ”. Jadi kalau sudah merupakan swadharma kita sebagai makhluk ciptaan yang memiliki derajat yang paling tinggi dihadapan Tuhan, maka lakukanlah dengan penuh keikhlasan dan senang hati, tanpa pernah memikirkan hasilnya. Dengan demikian kita terbebas dari pengurangan energi hanya untuk memikirkan untung dan rugi yang memunculkan keterikatan/kelekatan yang menjadi sumber penderitaan. Hal ini sangat penting untuk dipahami untuk selanjutnya dilakoni.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pikiran merupakan anugerah Tuhan bagi manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Pikiran itu sangat sakti, gerakannya melebihi kecepatan apa pun yang nampak di dunia ini. Dia tidak bisa diam dan selalu bergerak dan super aktif. Namun sangat disayangkan bila kita dikuasai pikiran maka kita akan seperti apa yang diuraikan pada warna Sudra terdahulu. Maka tidak aneh orang bijak menganjurkan agar kita mampu untuk mengendalikan pikiran agar tetap fokus pada hal-hal yang positif, sehingga perjalanan kita dalam mengarungi badai kehidupan ini akan menjadi lebih baik dan selamat sampai di tempat tujuan.

Pertanyaan yang muncul sekarang, bagaimana cara untuk dapat mengendalikan pikiran, apalagi di tingkat Ksatria dalam tindakannya dituntut selalu spontan dan tanpa berpikir terlebih dahulu? Jawabannya sungguh sulit bila hanya dibicarakan saja, karena hal ini perlu ketekunan dan dilakoni setiap saat dan banyak buku-buku suci yang dapat dipakai tuntunan dalam hal ini.

Agar pembaca tidak penasaran dalam hal pengendalian pikiran supaya pikiran itu tidak menguasai kita, namun sebaliknya kita sendiri yang mengendalikannya dan dapat diperintah sesuai kemauan mpunya, maka kita sendiri jangan sekali-kali menggodanya (atau mengganggunya ”istilah yang sering dipakai Guru kami : Welldo Wnopringgo ”)

Yang dimaksud menggoda atau mengganggu pikiran adalah pikiran kita sering diarahkan ke hal-hal yang enak-enak saja atau memikirkan hal-hal yang sudah lewat atau ke masa depan atau nanti yang penuh dengan ketidakpastian seperti disinggung sebelumnya. Makanya tidak aneh bila kita sedang duduk atau bekerja pikiran kita sering tidak ada di situ, pikirannya melayang-layang entah kemana, tidak fokus pada pekerjaan yang sedang dilakukan. Jadi badannya saja ada di situ namun pikirannya berada di luar tubuhnya. Itulah yang dikatakan kita sering menggoda atau mengganggu pikiran.

Sekali lagi jangan menggodanya, karena pikiran cepat sekali merespon rayuan anda yang akan membawanya melayang kemana pun anda ingin pergi dan meninggalkan raga anda yang terbengong, kadang-kadang tersenyum maupun menangis seperti orang bego, dungu dan asyik sendiri.

Supaya kita selalu dapat fokus pada kenyataan, arahkanlah pikiran itu kepada aktivitas yang sedang dilakoni, beri pikiran itu pekerjaan sehingga tidak terbang kemana-mana. Seperti contoh bila kita berdiri di pinggir jalan, maka pikiran kita arahkan pada diri yang sedang berdiri dan rasakanlah secara terus menerus bahwa kita sedang berdiri dan sedang menunggu mobil tumpangan misalnya, sehingga mobil yang lalu-lalang bagaimana pun ramainya tidak akan mempengaruhi kita. Beda halnya kalau kita tidak fokus maka pikiran kita akan terbawa oleh lalu-lalangnya kendaraan, sehingga kita akan pusing karena terbawa situasi oleh ramainya lalu lintas. Banyak contoh yang dapat diungkapkan di sini seperti mandi, maka rasakanlah kita sedang mandi maka air yang dipakai mandi pun akan ramah menyapanya (ingat! air itu mampu menangkap pesan), demikian pula kalau kita sedang duduk bermeditasi, maka rasakanlah secara terus menerus anda sedang duduk, maka anda akan menonton diri anda sendiri yang pada akhirnya hanya hati yang bicara yang menuntun anda menuju pintu kenyataan.

Demikianlah adanya bila kita selalu fokus pada kenyataan, maka Atman dengan Paraatman akan selalu menyatu, dengan kata lain Atman dengan Brahman akan selalu manunggal. Golongan manusia inilah disebut Brahmana. Tat kala Brahman sudah mengejawantah pada diri seseorang dimana pikiran, ucapan dan tindak-tanduknya mencerminkan sifat-sifat ketuhanan maka seseorang telah mencapai tingkatan Brahmana. Ciri utama golongan ini adalah selalu membawa kesejukan dan kedamaian hati bagi siapa saja yang ada di dekatnya. Tindak-tanduknya yang welas asih, penolong, jujur, penyabar dan penyayang. Berpenampilan apa adanya dan sederhana serta bisa menyesuaikan dan menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi lingkungannya. Bicaranya bagai magnet dan mampu menerangi hati yang lara dan gelap. Tatapannya yang cerah dan sejuk memancarkan keramahan dan persaudaraan.

Oleh karena itu mari kita bersama-sama dan jangan putus asa untuk menemukan jati diri/diri murni (atman) karena atman adalah Tuhan yang berwujud (Personal) sedangkan Tuhan Universal, beliau tidak berwujud . Ingat ! ”Brahman Atman Aikyam” Brahman dan Atman itu satu, oleh sebab itu mari kita latih dan lakoni secara berkesinambungan, sehingga pintu diri terbuka dan permata yang ada di dalam diri menampakkan sinarnya untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pengabdian dan pelayanan di mayapada ini.

Semoga artikel ini bermanfaat.
Untuk mendpat pencerahan suci lainya silahkan lihat artikel yang ada di blog kami.
Terimakasih telah membaca.


Dalung, Awal Nopember 2007
WAYAN SURATNYA
(SHRI DAVA)

ayo baca artikel selanjutnya klik di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar